MEDIAPESAN – Gabungan elemen masyarakat dan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan Mapolres Buru, Kamis (15/5), menuntut penindakan hukum terhadap sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam aktivitas pertambangan ilegal di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru.
Aksi yang digelar oleh Gabungan Masyarakat dan Pemuda Kaiely, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Buru, serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea ini merupakan demonstrasi jilid keempat terkait penolakan terhadap aktivitas koperasi tambang emas di wilayah tersebut.
Dalam orasinya, massa menuntut agar pihak kepolisian segera menangkap Helena, yang disebut sebagai pengurus PT Wangsuwai Indo Mining, bersama dua orang lainnya, yakni Mansur Lataka dan Ruslan Arif Suamole alias Ucok.
Kami pertanyakan keadilan. Kenapa Imbran S Malla bisa ditangkap karena menggunakan ekskavator di Kali Anhoni, padahal belum mengangkut material. Sementara Ucok, Helena, dan Mansur Lataka belum juga ditindak? ujar perwakilan IMM dan HMI.
Menurut mereka, ketiga nama tersebut telah melakukan pelanggaran hukum terkait izin pertambangan dan seharusnya diproses secara terbuka sesuai ketentuan yang berlaku.
Gunung Botak: Antara Warisan Leluhur dan Kepentingan Industri
Setelah berorasi, massa menyerahkan pernyataan sikap kepada Kasat Intel Polres Buru, AKP Ardiansyah R.H, yang mewakili Kapolres AKBP Sulastri Sukidjang.
Pernyataan itu diterima secara resmi, dan pihak kepolisian berjanji akan menyampaikan tuntutan tersebut kepada pimpinan untuk ditindaklanjuti.
Dalam pernyataan sikapnya, para demonstran menegaskan bahwa Gunung Botak bukan sekadar kawasan kaya mineral, tetapi juga ruang hidup spiritual dan warisan budaya masyarakat adat yang selama ini menjaga keseimbangan alam.
Ironisnya, koperasi yang mengatasnamakan rakyat justru meneruskan jejak kolonialisme. Di balik nama koperasi, terselubung kepentingan korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan, tegas salah satu tokoh pemuda dalam aksi tersebut.
Kritik Terhadap Praktik Koperasi dan Tuntutan Transparansi
Para demonstran menilai bahwa kehadiran koperasi tambang di kawasan itu hanyalah formalitas legal yang digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk menguasai sumber daya alam, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh kasar di tanah sendiri.
Pendapatan tambang tidak mengalir secara adil. Koperasi hanya dijadikan topeng oleh kekuatan modal besar. Ini bukan soal menolak perubahan, tapi soal menolak ketidakadilan, tulis mereka dalam pernyataan tertulis.
Selain itu, massa juga meminta Polres Buru mengusut aliran modal serta struktur kendali dari koperasi-koperasi tersebut, termasuk dugaan keterlibatan pemilik alat berat dan pihak luar sebelum izin pertambangan rakyat (IPR) diterbitkan.
Isu Gunung Botak Jadi Sorotan Nasional
Gunung Botak, yang terletak di antara Desa Wansait (Kecamatan Waelata) dan Desa Kaiely (Kecamatan Teluk Kaiely), kini menjadi pusat perhatian publik di Maluku.
Persoalan ini telah menjadi isu hangat dalam beberapa pekan terakhir seiring meningkatnya kekhawatiran soal eksploitasi berlebihan dan konflik kepemilikan lahan adat.
Demonstran juga menyerukan DPRD Kabupaten Buru agar berpihak pada masyarakat, bukan pada kepentingan oligarki yang berlindung di balik nama koperasi.
Gunung Botak adalah ruang hidup. Jangan biarkan segelintir orang mengatasnamakan koperasi untuk menjajah tanah ini kembali, tegas massa dalam aksi damai tersebut.