MEDIAPESAN, Nabire, Papua Tengah – Dalam suasana penuh keheningan dan luka yang belum sepenuhnya pulih, tiga petugas Lapas Nabire menerima kunjungan tak terduga pada Selasa (3/6).
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan (Dirjenpas Kemenimipas), Mashudi, datang langsung ke Rumah Sakit Umum Daerah Nabire untuk menjenguk mereka yang menjadi korban dalam peristiwa kaburnya 19 narapidana beberapa hari sebelumnya.
Insiden yang mengguncang Lapas Kelas II-B Nabire itu tak hanya menyorot kelonggaran pengamanan di dalam sistem pemasyarakatan, tapi juga menelanjangi kenyataan keras di balik jeruji—tentang petugas yang bekerja dalam keterbatasan, sering kali tanpa perlindungan cukup.
Di ruang rawat, dengan luka masih membekas pada tubuh dua petugas yang baru saja menjalani operasi, Mashudi melakukan video call langsung dengan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto.
Kehadiran virtual sang menteri di layar ponsel membuat ketiga korban tertegun—sebuah sapaan langsung yang langka dari pucuk pimpinan negara untuk aparat di garis depan.
Saya pastikan dukungan penuh untuk anggota kami yang terluka dalam menjalankan tugas mulia ini, ujar Mashudi kepada wartawan usai kunjungan.
Dua korban luka serius—Komandan Jaga dan Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban—mengalami luka akibat sabetan senjata tajam saat berusaha mencegah pelarian massal warga binaan. Satu petugas lainnya menjalani rawat jalan dengan luka ringan.
Mashudi menyerahkan bantuan langsung dari Menteri Agus sebagai bentuk kepedulian negara.
Namun di balik gestur simbolik itu, pernyataan Mashudi mencerminkan kekhawatiran yang lebih dalam: minimnya kesiapan petugas menghadapi situasi darurat.
Petugas Pemasyarakatan perlu pelatihan taktis dalam menghadapi situasi krisis. Ini bukan semata soal prosedur, tapi soal keselamatan, tegasnya.
Pasca kunjungan rumah sakit, Mashudi langsung meninjau Lapas Nabire, didampingi jajaran kepolisian tinggi Papua Tengah termasuk Kapolda Brigjen Pol. Alfred Papare.
Dalam arahannya, ia menekankan pentingnya koordinasi antarlembaga: dari kepolisian, TNI, hingga Brimob, sebagai jaring pengaman sistem pemasyarakatan yang kian tertekan.
Lapas Nabire saat ini menampung 218 narapidana, jauh melebihi kapasitas ideal 150 orang.
Setiap regu jaga hanya terdiri dari lima petugas.
Ketimpangan ini menjadi titik lemah yang mudah dieksploitasi dalam keadaan genting—sebagaimana terbukti dari insiden kaburnya 19 napi yang hingga kini masih dalam pencarian.
Situasi kini diklaim sudah kondusif, namun trauma psikologis dan rasa khawatir di antara petugas tak semudah itu hilang.
Sistem pemasyarakatan di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah terpencil seperti Papua Tengah, kini berada dalam sorotan.
Bukan hanya karena upaya pelarian, tetapi karena lemahnya struktur pendukung yang menyertai tugas berat para petugas di lapangan.
Mashudi juga dijadwalkan bertemu dengan jajaran Korem Nabire untuk memperkuat sinergi pengamanan ke depan.
Tugas ini bukan hanya tentang mengunci pintu, tapi menjaga martabat dan keamanan semua pihak, baik di dalam maupun di luar tembok penjara, pungkasnya.