MEDIAPESAN, Makassar – Sebuah lapak dagang di Pasar Senggol, Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Mariso, dibongkar secara paksa pada pekan lalu.
Pembongkaran yang diduga dilakukan oleh oknum Brimob ini menuai protes keras dari para pedagang, menyusul tudingan penyalahgunaan wewenang dan ketiadaan prosedur hukum yang jelas.
Lapak tersebut milik Sarifuddin, seorang pedagang yang telah berjualan di pasar legendaris itu selama lebih dari dua dekade.
Aksi pembongkaran itu disebut dilakukan tanpa pemberitahuan memadai, selain sebuah surat teguran.
Tiba-tiba lapak saya dihancurkan. Saya sudah berjualan di sini lebih dari 20 tahun, ujar Sarifuddin dengan nada kecewa.
Yang membuat peristiwa ini makin kontroversial, lokasi lapak yang dibongkar bukan sekadar ruang usaha biasa.
Ia terletak di kawasan tertua Pasar Senggol — pasar malam rakyat pertama di Kecamatan Mariso yang sudah menjadi denyut nadi ekonomi lokal sejak tahun 1960-an.
Nama “Senggol” sendiri berasal dari suasana khas pasar ini, di mana padatnya interaksi warga membuat orang kerap bersenggolan saat berbelanja.
Lapak di Atas Kanal: Sebuah Realitas yang Diakui Sejak Lama
Pasar Senggol dibangun dengan semangat gotong royong.
Banyak lapak berdiri di atas kanal-kanal yang dulunya terbuka, kini dijadikan ruang usaha atas kesepakatan informal antarwarga.
Sudah dari awal pasar berdiri orang berjualan di atas kanal. Itu bukan pelanggaran, tapi bagian dari penyesuaian ruang yang minim, kata Yusran, Kepala Pasar Sambung Jawa, Minggu malam (25/5/2025).
Yusran menegaskan bahwa lapak Sarifuddin tidak berada di atas tanah pribadi, melainkan di area kanal yang telah lama difungsikan sebagai tempat berdagang.
Lapaknya tidak mengganggu rumah siapa pun. Ini berlangsung sejak dulu dan tak pernah dipersoalkan, imbuhnya.
Namun, situasi berubah sejak Lurah Mariso menerbitkan surat tertanggal 17 Mei 2024 yang menyebutkan keberatan dari seorang warga bernama Haerul.

Surat tersebut tidak disertai prosedur hukum, tidak ada tembusan ke RT atau pengelola pasar, dan tidak dilakukan musyawarah.
Ketika dikonfirmasi soal status lokasi tersebut, Camat Mariso justru menjawab singkat, “Silakan tanya kepala pasar, itu bukan wewenang saya.”
Ketidakpastian Hukum dan Kekhawatiran Meluas
Kejadian ini menciptakan kegelisahan di kalangan pedagang lainnya.
Kalau hari ini satu lapak bisa dibongkar seenaknya, besok bisa jadi giliran kami, kata Ramlah, pedagang yang telah berjualan di Pasar Senggol sejak 1999.
Keluarga Sarifuddin kini telah melaporkan insiden tersebut ke Divisi Propam Polda Sulsel.
Dugaan utama: pelanggaran prosedur, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengabaian hak rakyat kecil.
Meskipun kartu dagang Sarifuddin belum diperbarui, Yusran menyebut namanya tetap tercantum dalam data resmi pedagang.
Secara administratif, dia masih resmi, ujarnya.

Ironisnya, Haerul—yang sebelumnya menyatakan keberatan atas lapak Sarifuddin—kini diketahui mulai membangun lapak baru di lokasi yang sama.
Kalau belum ada kepastian hukum, sebaiknya dihentikan dulu. Ini sudah masuk ke ranah kepolisian, tutur Yusran.
Seruan untuk Intervensi Pemkot Makassar
Para pedagang mendesak Wali Kota Makassar untuk turun tangan, mengevaluasi kerja aparat yang dinilai tidak transparan dan abai terhadap proses musyawarah.
Kritik juga diarahkan pada lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan, dari kelurahan hingga kecamatan.
Kasus ini tidak hanya menggambarkan sengketa satu lapak, melainkan juga memunculkan pertanyaan lebih besar: apakah hak-hak rakyat kecil bisa begitu mudah digusur demi kepentingan segelintir orang?
Pasar Senggol, simbol ekonomi rakyat dan warisan budaya urban Makassar, kini berada di persimpangan jalan.
Sebuah tempat yang dulu tumbuh atas semangat kebersamaan, kini menghadapi ujian: antara mempertahankan sejarah atau menyerah pada kekuasaan yang tak berpijak pada keadilan.