MEDIAPESAN – Pada penghujung abad ke-19, di tengah hutan-hutan lebat dan sungai-sungai besar Kalimantan, suara denting alat kerja dan teriakan komando mandor terdengar setiap pagi.
Mereka adalah para kuli Tionghoa—pekerja keras yang datang ribuan mil jauhnya dari tanah leluhur di daratan Tiongkok, demi mencari harapan baru di Hindia Belanda.
Mereka dipekerjakan untuk menebang kayu, dan membangun jalur perdagangan di daerah yang kala itu masih liar dan asing.
Kehidupan mereka tidak mudah. Upah rendah, jam kerja panjang, serta risiko penyakit dan kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari mereka.
Namun, di balik penderitaan itu, ada semangat bertahan hidup yang luar biasa.
Pemerintah kolonial Belanda kala itu memanfaatkan tenaga mereka melalui sistem kontrak yang sering kali menjerat.
Banyak kuli terjebak dalam utang dan kerja paksa. Mereka hidup berdesakan di barak-barak sederhana, dengan makanan seadanya dan tanpa jaminan kesehatan.
Namun, dari titik paling bawah itulah terbentuk jaringan komunitas Tionghoa pertama di Kalimantan—yang kelak berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi lokal.
Keberadaan mereka bukan sekadar catatan gelap kolonialisme, tetapi juga kisah tentang daya tahan manusia menghadapi ketidakadilan.
- Iklan Google -
Di banyak kota Kalimantan kini, jejak mereka masih bisa ditemukan dalam bentuk kelenteng tua, nama keluarga, hingga tradisi perdagangan yang melekat dalam denyut ekonomi setempat.
Kisah kuli Tionghoa tahun 1890 mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari keringat dan perjuangan mereka yang tak disebut dalam buku sejarah.
Saat bangsa ini terus menata masa depannya, menghormati jejak buruh masa lalu adalah bentuk penghargaan atas fondasi keras yang mereka tinggalkan.
Bukan hanya sejarah besar yang membentuk negeri ini, tetapi juga kisah-kisah kecil tentang manusia biasa yang bekerja dalam senyap, menanam akar bagi peradaban yang kita nikmati hari ini.



