mediapesan.com | Persidangan kasus kematian Virendy Marjefy Wehantouw (19), yang melibatkan dua mahasiswa akhir Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas), Muhammad Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir, telah mencapai puncaknya di Pengadilan Negeri (PN) Maros, (5/8/2024).
Sidang yang berlangsung pada Senin sore tersebut dipimpin oleh Majelis Hakim Firdaus Zainal, SH, MH.
Virendy, seorang mahasiswa jurusan Arsitektur di FT Unhas, tewas saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar dan Orientasi Medan (Diksar & Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas pada Januari 2023.
Majelis hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kedua terdakwa terbukti bersalah menurut Pasal 359 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atas kelalaian yang menyebabkan kematian Virendy.
Dalam amar putusannya, Hakim Firdaus Zainal menjatuhkan hukuman empat bulan penjara dikurangi masa tahanan yang telah dijalani, serta memerintahkan kedua terdakwa membayar restitusi sebesar Rp. 118.040.000 kepada keluarga Virendy.
Dana restitusi yang telah dititipkan ke Panitera PN Maros akan diserahkan kepada keluarga korban setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Putusan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan, termasuk keterangan saksi-saksi, ahli forensik, dan bukti-bukti yang diajukan di persidangan.
Hakim Firdaus menolak dalil hukum mengenai penyakit bawaan yang dikemukakan oleh tim penasehat hukum terdakwa, karena tidak ada bukti yang mendukung hal tersebut selama persidangan.
Hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Grestelina dan otopsi oleh dokter forensik Biddokkes Polda Sulsel menunjukkan bahwa kematian Virendy disebabkan oleh benturan benda tumpul dan kegagalan sirkulasi darah ke jantung akibat penyumbatan lemak.
Penyumbatan lemak tersebut dipicu oleh aktivitas fisik berlebihan dan stres, sebagaimana dikonfirmasi oleh saksi ahli dokter Denny Mathius.
Keterangan saksi di persidangan juga mengungkap bahwa saat Virendy sudah dalam kondisi lemah, tidak ada tindakan khusus yang diambil oleh terdakwa untuk menghentikan atau memulangkannya.
Keterlibatan senior-senior Mapala yang mendominasi kegiatan dan memberikan hukuman kepada peserta menunjukkan kurangnya kontrol dari terdakwa.
Majelis hakim menyoroti tidak adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dalam kegiatan Diksar, yang mengakibatkan kebebasan senior dalam memberikan hukuman kepada peserta.
Hakim menegaskan bahwa putusan ini bertujuan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan dan menjadi pembelajaran bagi organisasi Mapala, institusi pendidikan, dan masyarakat umum.
Sidang pembacaan putusan yang berlangsung di ruang Cakra Gedung PN Maros dihadiri oleh puluhan pengunjung, termasuk wartawan, mahasiswa Unhas, anggota UKM Mapala 09 FT Unhas, keluarga terdakwa, dan kerabat almarhum Virendy. Meskipun ramai, sidang berjalan dengan tertib dan aman.
Kedua terdakwa bersama penasehat hukumnya, Muhammad Ilham Prawira, SH, serta jaksa penuntut umum, Sofianto Dhio, SH, menyatakan akan mempertimbangkan putusan ini sebelum memutuskan apakah akan mengajukan banding. ***