Jakarta (mediapesan.com) – Di sebuah pulau yang indah bernama Rempang, terhampar masalah yang tak kunjung usai dan menjadi trending topik hingga saat ini.
Pulau Rempang telah menjadi sumber perbincangan hangat dan kontroversi di berbagai penjuru tanah air. Bahkan Presiden Jokowi ikut bersuara, Sabtu lalu (16/9/2023).
Jokowi menilai kekisruhan yang terjadi di Pulau Rempang sebenarnya bisa diselesaikan di tempat, tanpa harus menunggu Presiden. Pemerintah daerah maupun aparat bisa berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat.
“Masa urusan gitu sampe Presiden,” ungkap Jokowi.
Unjuk rasa berakhir rusuh terjadi di Rempang sejak pekan lalu, buntut dari rencana pengosongan lahan yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City. Pengosongan itu berujung kericuhan setelah massa melakukan aksi penolakan dengan memblokir jalan ke kawasan mereka.
Pemerintah memaksa untuk tetap melakukan pembangunan. Salah satu langkah awal adalah melakukan pematokan dan pengukuran lahan di Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung ini menjadi titik awal pembangunan pabrik kaca terbesar asal Cina bernama Xinyi Group.
Dalam pidatonya pada Rabu, Jokowi mengatakan secara umum proyek strategis nasional ini jangan ada yang mandek apalagi mangkrak. Tapi aparat menurutnya jangan melakukan pendekatan represif.
Menurut Jokowi, investasi ini perlu dikomunikasikan dengan benar. Terutama mengenai lahan yang akan dijadikan lokasi pembangunan serta ganti ruginya.
Isu yang berkisar mengenai relokasi masyarakat lokal oleh BP Batam menjadi sumbu permasalahan yang tak terhindarkan. Dan di tengah sorotan publik yang memuncak, bergulir juga opini mengenai penolakan relokasi dan terdapat sentuhan tangan asing yang mencoba merambah dan memengaruhi isu ini.
Pada 7 September 2023 lalu, kerusuhan meletus di Rempang. Demonstrasi penolakan relokasi oleh masyarakat lokal berubah menjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Kejadian ini menjadi pemberitaan utama di media dan mengundang komentar beragam, termasuk dari pengamat asing.Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa orang asing turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia? Mengapa fokus hanya pada Rempang?
Tentu saja, pertanyaan ini memunculkan kecurigaan dan kebingungan. Seakan-akan, proyek yang direncanakan di Rempang Eco City telah menarik perhatian dunia, baik dalam bentuk dukungan maupun kritik.
Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia, telah menyatakan bahwa tidak semua negara menyambut baik proyek ini. Mungkin karena itu, banyak yang menganggap proyek ini sebagai ancaman. Di sisi lain, anggota Komisi VI DPR RI, Harris Turino, memberikan apresiasi terhadap masuknya investasi di Batam, yang telah mencapai angka yang sangat besar.
Namun, ia juga memberikan peringatan bahwa proyek ini dapat menjadi ancaman bagi pihak-pihak yang tidak menyukai Indonesia. Bergulir masif penyebaran pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Ada usaha dan upaya untuk menggagalkan proyek tersebut, dengan kampanye mendiskreditkan proyek tersebut.
Kita bisa memetik pelajaran dari negara tetangga, Thailand, di mana proyek Terusan Kra yang ambisius hingga saat ini belum berhasil terealisasi.
Proyek ini direncanakan untuk menciptakan jalur pelayaran yang lebih efisien, menghubungkan Laut Andaman dengan Teluk Thailand, dan dapat menguntungkan Thailand secara ekonomi. Namun, proyek ini akan merugikan Singapura, karena kapal dagang tak lagi perlu singgah di sana.
Dalam konteks ini, dugaan adanya campur tangan pihak asing dalam penggagalan proyek Terusan Kra di Thailand sangatlah jelas.
Singapura adalah proxy mereka di kawasan Asia, dan mereka tentu tidak ingin melihat Singapura merosot. Terlepas dari semua kebingungan dan kontroversi, kita semua perlu menjaga kepala dingin dan memahami isu ini dengan lebih jernih.
Ini adalah saatnya untuk mencari solusi yang baik, bukan menambah permasalahan. Pemerintah, bersama masyarakat Pulau Rempang, harus bekerja bersama-sama untuk membangun Pulau Rempang sebagai kekuatan ekonomi masa depan Indonesia.
Salah satu solusi yang mungkin adalah meningkatkan komunikasi antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Mendengarkan aspirasi masyarakat, membuka dialog, dan mencari jalan keluar yang dapat memenuhi kepentingan semua pihak.
“Selain itu, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proyek-proyek besar, seperti Rempang Eco City akan membantu mengurangi keraguan dan ketidakpastian,” demikian rilis Public Watch Integrity (PWI).
Semua upaya ini akan memberi dampak positif tidak hanya bagi warga Pulau Rempang tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita semua memiliki peran dalam membangun masa depan yang lebih baik, di mana perdamaian dan kemakmuran dapat menggantikan ketegangan dan konflik.