18 September (mediapesan) – Kasus dugaan pungutan liar yang menyeret nama Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar, Iptu Hartawan, kembali menjadi sorotan publik setelah viral di beberapa media online.
Tuduhan tersebut mencuat setelah muncul kabar bahwa Iptu Hartawan diduga menerima dana sebesar Rp 30 juta dari salah satu pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual.
Dalam klarifikasinya, Iptu Hartawan menegaskan bahwa kasus tersebut telah diselesaikan secara damai melalui mekanisme restorative justice (keadilan restoratif).
Ia menjelaskan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk berdamai, mencabut laporan, dan melanjutkan hidup masing-masing.
Salah satu pihak dikabarkan akan kembali ke Bima, sementara pihak lainnya melanjutkan perjalanan ke Maluku.
Mengenai isu pungutan liar, Iptu Hartawan menyatakan bahwa uang yang disebutkan, berkisar antara Rp 15 juta hingga Rp 30 juta, kemungkinan besar adalah pinjaman pribadi di antara mereka, bukan pungutan yang melibatkan kepolisian.
Namun, pernyataan tersebut mendapat tanggapan dari Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar, Makmur.
Dalam pesan singkatnya pada Rabu (18/9/2024), Makmur mengungkapkan adanya bukti percakapan yang menunjukkan bahwa pelaku telah mengeluarkan Rp 15 juta untuk kepolisian, dan terdapat rekaman jelas yang memperlihatkan adanya permintaan dana sebesar Rp 30 juta kepada korban.
Makmur juga menegaskan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan tidak seharusnya diselesaikan dengan pendekatan restorative justice, terutama dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022.
UU ini bertujuan memberikan perlindungan lebih bagi korban kekerasan seksual serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka.
Ia menekankan pentingnya penerapan UU TPKS di kepolisian, khususnya di Unit PPA Polrestabes Makassar, agar penanganan kasus serupa sesuai dengan hukum yang berlaku.
Selain itu, terkait dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Makmur mengingatkan bahwa berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, kasus seperti ini dianggap sebagai pelanggaran berat dan tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan restorative justice.
Sistem peradilan pidana dalam kasus TPPO lebih mengutamakan penghukuman pelaku, perlindungan korban, dan pembongkaran jaringan perdagangan orang.
Restorative justice tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan dalam kasus kekerasan seksual, apalagi ada dugaan permintaan dana dari pihak kepolisian. Penegakan hukum formal harus dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban, ujar Makmur.
Dengan demikian, ia berharap kasus ini ditangani dengan serius sesuai dengan UU TPKS dan UU TPPO, tanpa adanya upaya penyelesaian yang melanggar prinsip keadilan bagi korban. ***