Dieng-Poco Leok, 5 Oktober (mediapesan) – Pertengahan September lalu, Presiden Joko Widodo menyerukan percepatan izin eksplorasi energi panas bumi (geothermal) sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk mendorong transisi ke energi hijau.
Langkah ini seolah menegaskan bahwa geothermal dianggap sebagai solusi utama untuk menghadapi krisis iklim.
Namun, benarkah geothermal benar-benar ramah lingkungan dan berkeadilan?
Meski dipromosikan sebagai sumber energi baru terbarukan, geothermal memiliki dampak yang tidak dapat diabaikan.
Salah satu isu besar adalah penggunaan air dalam jumlah besar untuk mengekstraksi cairan panas dari dalam bumi.
Proses ini sering kali memicu pelepasan mineral berbahaya ke atmosfer.
Selain itu, ambisi untuk meningkatkan produksi geothermal mendorong penggunaan teknologi Hydraulic Fracturing atau fracking, yang diketahui dapat mengganggu stabilitas tanah serta mencemari air di sekitar sumur dan pembangkit listrik.
Contoh nyata dari masalah ini bisa dilihat di Dieng, Jawa Tengah.
Pengoperasian geothermal oleh PT Geo Dipa di wilayah tersebut telah menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah.
Masyarakat sekitar melaporkan adanya bau gas menyengat mirip telur busuk yang tercium di beberapa dusun dekat Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Selain itu, kualitas air yang asin, berbau, dan berubah warna menjadi kekuningan telah menjadi keluhan warga.
Dampak ini tak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga merugikan kehidupan sehari-hari, termasuk diduga menjadi penyebab gagal panen kentang yang mengancam mata pencaharian penduduk setempat.
Dalam menguji klaim geothermal sebagai energi hijau menunjukkan bahwa warga sekitar seringkali menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak negatif.
Investigasi itu merupakan bagian dari kolaborasi “Ground Truths,” yang didukung oleh Earth Journalism Network (EJN), dengan fokus menelusuri kondisi tanah di kawasan Asia Pasifik.
Di sisi lain, perlawanan terhadap proyek geothermal juga terjadi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Warga Poco Leok terus menolak proyek geothermal yang merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu, meskipun proyek ini telah menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.
Mereka khawatir bahwa proyek ini akan merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan mereka.
Tensi semakin memuncak pada 2 Oktober, saat pemimpin redaksi Floresa.co, Herry Kabut, mengalami kekerasan dari aparat ketika meliput aksi unjuk rasa warga di Poco Leok.
Ponselnya dirampas, dan ia mengalami perlakuan yang keras saat berusaha mendokumentasikan protes yang menentang proyek geothermal tersebut.
Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah, apakah geothermal benar-benar bisa disebut sebagai energi hijau jika dalam prosesnya justru merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat setempat?
Transisi ke energi hijau tentu sangat diperlukan, tetapi perlu dipastikan bahwa langkah tersebut tidak meninggalkan jejak kerusakan yang justru lebih besar. ***
(pm/red)