Mentertawakan kemiskinan diri sendiri menjadi penting di tengah kondisi sulit seperti sekarang ini.
Semua harta yang pernah bernilai tinggi kini telah terjual dan tergadai, meski nilainya masih menyimpan sejarah yang tak mudah diabaikan.
Sejarah telah melekat pada barang-barang berharga itu, menciptakan ikatan yang sulit untuk dilupakan.
Inilah kenyataan yang kita hadapi hari ini.
Ponsel yang rusak, tidak bisa digunakan untuk menerima atau melakukan panggilan penting, menggambarkan kesulitan yang ada, di mana segala sesuatunya sudah serba kekurangan.
Bumbu dapur yang tersisa kini hanya cukup untuk satu kali masak.
Semua terasa mustahil di zaman serba canggih ini, di mana uang seharusnya bisa dengan mudah diperoleh, meski dengan cara yang tak terhormat.
Namun, kini bahkan peluang untuk melakukan korupsi pun semakin sempit.
Bukan karena pengawasan yang ketat, tetapi karena begitu banyak orang yang sudah antre menunggu kesempatan.
Istilah yang populer di kalangan Gen Z menggambarkan situasi ini: bukan hanya yang halal yang langka, yang haram pun sudah sulit didapatkan.
Oleh karena itu, diperlukan jurus baru untuk mentertawakan kemiskinan diri sendiri. Hanya dengan cara ini kita bisa menghibur diri.
Setidaknya, dengan tertawa, janji-janji manis yang datang dari para pemimpin bisa menjadi bahan tertawaan.
Misalnya, janji untuk memberikan kuota internet, yang seperti janji pemerintah yang baru akan ditepati di akhir tahun—padahal janji tahun lalu pun belum terlaksana.
Kesabaran kita harus dilipat-gandakan agar bisa bertahan tanpa menambah jumlah orang yang putus asa.
Bentuk-bentuk saham telah menyebar di berbagai perusahaan, namun kesulitan hidup masih merata di seluruh dunia seperti musim hujan yang mengancam pemukiman, kecuali bagi mereka yang kaya.
Mereka yang mampu menikmati kenyamanan dengan pesawat jet pribadi atau bersantai di kapal pesiar.
Ilmu baru untuk mentertawakan kemiskinan diri sendiri semakin canggih, membantu kita menerima lonjakan harga kebutuhan pokok yang terus meroket.
Sementara itu, banjir dan keruhnya air di pemukiman tak kunjung mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Dalam kelengkapan penderitaan yang terus datang silih berganti, kemampuan untuk mentertawakan kemiskinan di usia hampir seabad kemerdekaan ini begitu dramatis.
Hal ini tak bisa dipahami, atau bahkan tidak ingin dipahami oleh aparat yang seharusnya mengurus, mengayomi, dan melindungi rakyat.
Demikianlah puisi esai yang terlupakan catatan kakinya, karena sang penyair terlalu fokus pada puasanya yang ingin berbuka di sore hari ini.
Meski ia telah piawai mentertawakan kemiskinan dirinya sendiri, ia juga tahu bahwa mentertawakan kemiskinan orang lain bisa berisiko melanggar UU ITE.
Balaraja, 15 Desember 2024