mediapesan.com | Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang baru-baru ini mencuat telah menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat dan praktisi media.
Salah satu isu kontroversial yang diangkat dalam RUU ini adalah pelarangan melakukan dan mempublikasikan hasil jurnalisme investigasi.
Terkait hal ini, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, memberikan pandangannya yang tajam dan kritis terhadap peran Dewan Pers dalam dinamika kebebasan pers di Indonesia.
Menurut Lalengke, Dewan Pers, bersama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), selama ini telah menjadi penghalang utama dalam penyebaran informasi yang akurat dan sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Dirinya menyebut lembaga tersebut sebagai “pemberangus kemerdekaan pers sejati” yang justru memperburuk situasi dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak pro-demokrasi.
Selama hampir satu dekade, Dewan Pers dan PWI telah menjadi tembok penghalang berkembangnya informasi yang benar, faktual, dan sesuai kenyataan lapangan. Kelakuan mereka bahkan lebih parah daripada Kementerian Penerangan di masa Orde Baru, ujar Lalengke.
Lalengke menambahkan bahwa tindakan Dewan Pers yang mengkriminalisasi wartawan dan medianya dengan alasan administrasi, seperti belum memiliki Uji Kompetensi Wartawan (UKW), telah menjadi senjata mematikan bagi kebebasan pers di Indonesia.
Sebagai contoh, Lalengke mengutip kasus Sambo yang terjadi dua tahun lalu.
Pada saat itu, Dewan Pers melarang media untuk melakukan investigasi independen terhadap kasus yang melibatkan petinggi Polri tersebut, dan meminta media hanya menyiarkan rilis resmi dari kepolisian.
Anda bisa bayangkan betapa konyolnya, Dewan Pers dengan gagah berani melarang wartawan melakukan investigasi lapangan dan hanya mengandalkan informasi dari pihak berwenang, ungkap Lalengke.
Lalengke juga menyinggung kasus dugaan tindak pidana korupsi dana hibah BUMN yang melibatkan pengurus pusat PWI, yang sedang diproses oleh aparat penegak hukum.
Menurutnya, kasus ini menggambarkan buruknya sistem penyebaran informasi oleh media yang tergabung dalam PWI, yang lebih banyak menjadi corong para pelaku korupsi daripada berfungsi sebagai kontrol sosial.
Dalam konteks RUU Penyiaran, Lalengke menilai bahwa penolakan Dewan Pers terhadap pasal pelarangan jurnalisme investigasi perlu dipertanyakan motivasinya.
Ia mengingatkan agar kalangan pers waspada terhadap langkah-langkah Dewan Pers yang mungkin hanya ingin “mancing di air keruh.”
Dewan Pers selama ini adalah pihak yang sangat getol menghambat kemerdekaan pers. Jadi, mengapa tiba-tiba tampil seolah sebagai pahlawan kemerdekaan pers dan demokrasi dengan menolak RUU Penyiaran yang kontroversial ini? Kita perlu waspada, tegas Lalengke.
Menutup pernyataannya, Lalengke menggarisbawahi bahwa jika RUU Penyiaran ini disahkan, PPWI akan terus berjuang membela wartawan dan masyarakat yang terzolimi oleh kebijakan tersebut.
Jika RUU Penyiaran ini akhirnya disahkan, maka akan bertambah panjanglah cerita perih perjuangan PPWI dalam membela warga masyarakat yang terzolimi akibat pemberitaan. Akan muncul banyak kasus pemberitaan yang dipersoalkan menggunakan pasal pelarangan jurnalisme investigasi, tandasnya.
Sikap kritis Lalengke ini mengingatkan kita semua tentang pentingnya menjaga kebebasan pers dan memastikan bahwa media dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi tanpa hambatan.
Di era informasi ini, keterbukaan dan transparansi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan kritis. ***