Namlea (mediapesan) – Praktisi hukum Ahmad Belasa mengkritik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Buru atas keputusan menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana pemilu terkait TPS-21.
Keputusan ini dinilai membingungkan, terutama karena kasus tersebut melibatkan Ketua KPUD Buru, Walid Azis, yang mencoblos di TPS-21 meski tidak terdaftar di DPT maupun DPTb wilayah tersebut.
Status Hukum TPS-21 Dipertanyakan
Menurut Belasa, jika Bawaslu menemukan tindak pidana di TPS-21, status hukumnya menjadi sah karena prosesnya terlegitimasi.
Namun, dengan dihentikannya penyelidikan oleh Sentra Gakumdu, status hukum TPS-21 justru menjadi abu-abu.
Ketika Bawaslu tidak menemukan tindak pidana, maka status hukum TPS-21 seakan hilang. Tapi jika ada temuan, maka TPS-21 akan dianggap sah secara hukum. Ini yang membingungkan, ujar Belasa.
Belasa juga menyoroti bahwa dalam pengawasannya, Bawaslu tidak menemukan kejanggalan, termasuk soal kelebihan satu suara di TPS-21.
Padahal, laporan awal yang diajukan kuasa hukum pasangan calon MANDAT (M. Daniel Rigan dan dr. Danto) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran oleh Ketua KPUD.
Pengakuan Walid Azis Jadi Pusat Perhatian
Walid Azis mengaku mencoblos di TPS-21 sebagai pemilih DPK (pemilih yang menggunakan KTP) setelah pindah domisili dari Desa Airbuaya ke Namlea.
Ia mengklaim sudah mencoba mendaftar sebagai pemilih tambahan (DPTb), namun hingga hari pencoblosan datanya belum dimasukkan.
Walid menyatakan tindakannya sesuai aturan karena ia hanya mencoblos di satu lokasi.
Beta coblos di Namlea menggunakan KTP dan tidak di Airbuaya, tegas Walid.
Namun, laporan yang diajukan kuasa hukum MANDAT menuding tindakan Walid melanggar Pasal 178C UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Belasa: Demokrasi Tercoreng
Belasa menilai kasus TPS-21 merupakan ujian besar bagi Bawaslu.
Ini soal bagaimana Bawaslu menguji pengawasannya sendiri. Mereka bersama KPU sudah mengesahkan TPS-21, tetapi kini ada keraguan atas keabsahannya, ungkap Belasa.
Ia juga mengkritik proses pengawasan yang dilakukan, menyebut bahwa keputusan menghentikan penyelidikan justru mencoreng nilai demokrasi di Kabupaten Buru.
Karena satu suara di TPS-21, seluruh proses demokrasi menjadi dipertanyakan, tegasnya.
Publik Menunggu Jawaban
Belasa menekankan bahwa Bawaslu harus bertanggung jawab atas pengesahan TPS-21 yang telah melibatkan berbagai tahapan, mulai dari pleno di tingkat kecamatan hingga pengesahan di KPU RI.
Ia mempertanyakan dua hal utama:
1. Bagaimana dengan tindakan pengesahan TPS-21 selama pengawasan?
2. Siapa yang bertanggung jawab atas ketidakjelasan status hukum TPS-21?
Bagi Belasa, kasus ini menjadi “buah simalakama” bagi Bawaslu.
Keputusan untuk tidak melanjutkan penyelidikan menimbulkan keraguan atas profesionalitas dan transparansi lembaga pengawas pemilu tersebut.
Dengan situasi ini, publik menanti jawaban tegas dari Bawaslu terkait status hukum TPS-21 dan langkah apa yang akan diambil untuk memastikan kepercayaan terhadap proses pemilu tetap terjaga. ***