Makassar (mediapesan.com) – Sebagai bentuk kepedulian dalam menjaga keamanan dan ketertiban berbagai problem di kota Makassar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar menggandeng pihak kepolisian dalam hal ini Polrestabes Makassar dalam penangan masalah sosial.
Bertempat di Aula Mappaodang Polrestabes Makassar, Jumat (29/9/2023), telah berlangsung Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Penanganan Masalah Sosial di Kota Makassar (Restoratif, Preventif, Psikologi) Polrestabes Makassar, Mahasiswa dan Elemen Masyarakat.”
Dalam kegiatan dihadiri Kombes Pol Mokhamad Ngajib S.IK., M.H (Kapolrestabes Makassar), perwakilan MUI Kota Makassar, Dandimtabes 1408 BS Kota Makassar, Sekretaris Kesbangpol Kota Makassar, Perwakilan Ketua DPRD Kota Makassar, Perwakilan Kajari Makassar, HMI Cabang Kota Makassar, Perwakilan Mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan pihak lainnya.
Muhammad Arsy Jailolo, SH,MH (Ketua Umum HMI Cabang Makassar) mengatakan, program FGD ini merupakan tahap awal dalam mencari pemecahan masalah yang terjadi di Kota Makassar.
“Pada kegiatan berikutnya kami berharap semua pihak yang ada dapat bekerjasama dalam mencari solusi pemecahan masalah sosial di masyarakat, dan saya berharap kita dapat merubah mindset dan culture yang dapat memecahkan masalah sosial yang terjadi di Kota Makassar,” jelasnya.
Muhammad Arsy Jailolo, juga sebagai pemateri, dirinya menyampaikan beberapa pandangan dan solusi di dalam forum tersebut.Menurutnya, Makassar milik semua bangsa, dimana sebagian besar yang tinggal di Kota Makassar bukan hanya berasal dari suku Makassar saja, melainkan dari luar Sulawesi.
“Dan berbagai suku dan masih banyak lagi, hal itu menandakan bahwa kota Makassar merupakan kota heterogen,” ujarnya.
Alumni FH UMI itu menilai, permasalahan yang terjadi di Kota Makassar akibat pergeseran budaya dan mindset pemuda antara lain berbagai faktor.
“Peredaran narkoba, prostitusi online, pelanggaran lalulintas, perang kelompok, cyber crime, pelaku pembegalan,” katanya.
Sebagai orang berlatar belakang hukum, dia menyebutkan, penyebab terjadinya masalah antara lain putus sekolah (Sumber Daya Manusia), faktor ekonomi, lemahnya pendekatan akar budaya dalam simpul masyarakat atau lemahnya pendekatan spiritual kebudayaan, seperti budaya mapatabe.
Pengaruh lingkungan sosial, pikiran mayoritas dan minoritas yang masih tertanam di mindset pemuda Makassar yang masih terdoktrin.
“Cara pencegahan masalah antara lain; zona sadar pendidikan, zona sadar berlalulintas, zona sadar bebas narkoba, toleransi umat beragama, waspada terhadap kejahatan begal dan cyber. Pencegahan perang kelompok serta pencegahan pergaulan bebas,” terangnya.
Sedangkan, Kombes Pol Mokhamad Ngajib S.IK., M.H (Kapolrestabes Makassar), mengapresiasi mahasiswa yang telah memberikan ide kreatif terkait RPP (Restoratif, Preventif, Psikologi) Polrestabes Makassar.
Menurutnya, permasalahan sosial di Kota Makassar di antaranya adalah balapan liar, tawuran antar kelompok yang belum bisa hilang secara seratus persen, namun sudah dapat di kendalikan berkat partisipasi oleh masyarakat itu sendiri.
“Ada hal yang sangat memprihatinkan, yaitu adanya pengkaderan atau latihan perang antar kelompok yang di lakukan oleh anak rentang usia antara 8 – 11 tahun di wilayah Kecamatan Manggala dan wilayah Maccini,” ungkapnya.
Dikatakan, beberapa penyebab terjadinya perang kelompok antara lain, minum-minuman Ballo’ berlebihan (minuman tradisional), permasalahan ekonomi, pendidikan, tingkat pengangguran yang tinggi.
Dengan adanya kegiatan FGD ini kita dapat mencari solusi dan rekomendasi terbaik terkait beberapa permasalahan sosial yang sering terjadi di Kota Makassar.
“Dengan ini ada sinergitas yang terjalin antara Kepolisian, TNI, Pemerintah Kota Makassar, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan dari elemen Mahasiswa,” harapnya.
Sedangkan, Sofyan Thamrin S.Pd, MP.d (Sosiolog) menyebutkan, kekerasannya tereproduksi atau teregenerasi karena tafsir sejarah Makassar yang sangat maskulin atau citra Makassar yang diceritakan secara heroik dan tidak dapat diubah secara langsung namun dapat berubah secara bertahap.
“Selalu berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Model perkumpulan atau komunitas masyarakat Makassar yang terlalu monoton, dimana menganggap perbedaan itu adalah sesuatu yang tidak menarik atau hal biasa-biasa saja,” katanya.
Lanjut Sofyan, hal yang perlu dibangun adalah komunitas lintas (daerah, lembaga, agama maupun kelompok) agar dapat mereduksi atau meminimalisir terjadinya konflik sosial, seperti perang kelompok.
Konflik dapat terjadi karena ada aktor dibelakangnya, namun hal ini masih jadi asumsi di beberapa kalangan masyarakat.
“Makassar krisis ruang perjumpaan, karena kurangnya ruang publik yang menjadi tempat bertemunya beberapa perbedaan yang kadang memicu konflik,” ungkap dia.