MEDIAPESAN – Dua tokoh nasional yang dikenal luas atas integritas dan kontribusi mereka dalam membangun institusi dan nilai-nilai publik—Dr. H. M. Busyro Muqoddas dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat—mendapati nama mereka terseret ke dalam kontroversi seputar proses pemilihan anggota Dewan Pers periode 2025–2028.
Meski keduanya dikenal sebagai panutan dalam berbagai aspek kehidupan—mulai dari kepemimpinan keluarga, kontribusi sosial, hingga rekam jejak karier yang tak tercela—proses pencalonan mereka justru menuai kritik tajam dari komunitas pers nasional.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Heintje Grontson Mandagie, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, menyebut bahwa proses seleksi yang melibatkan kedua tokoh itu cacat hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Saya sangat menghormati integritas dan kapasitas mereka. Namun, proses pemilihan yang manipulatif dan tidak inklusif ini justru mempertaruhkan ketokohan mereka di mata komunitas pers, kata Mandagie.
Tokoh yang Dihormati
Busyro Muqoddas merupakan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2010–2011.
Sementara Komaruddin Hidayat dikenal sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (2006–2015).
Keduanya memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan nilai-nilai moral, keadilan, dan kebebasan berpendapat.
Namun dalam narasi yang disampaikan Mandagie, pencalonan mereka dipertanyakan karena tidak melalui proses pemilihan yang demokratis dan partisipatif sebagaimana mandat UU Pers.
Kritik Terhadap Oligarki Pers
Menurut Mandagie, pemilihan anggota Dewan Pers saat ini dilakukan secara tertutup dan dikendalikan oleh segelintir elite konstituen, yang menurutnya menciptakan oligarki media dan merusak prinsip kemerdekaan pers.
Ia menuding bahwa praktik-praktik Dewan Pers saat ini cenderung menguntungkan media besar nasional dan menekan eksistensi media lokal.
Kita sedang menyaksikan legalisasi pelacuran pers, di mana media dipaksa menggadaikan idealisme mereka demi kontrak kerjasama langsung dengan pemerintah, tanpa mekanisme independen atau tender terbuka, tegas Mandagie.
Ia menambahkan, media yang kritis terhadap kekuasaan kini berada dalam posisi rentan, karena setiap liputan yang tidak menguntungkan pejabat berisiko menyebabkan pemutusan kerjasama.
Tuntutan Peninjauan Kembali
Mandagie menyerukan agar Busyro dan Komaruddin bersikap arif dan meninjau kembali keputusan mereka untuk menerima posisi tersebut, atau bahkan mempertimbangkan untuk mundur sebagai bentuk moral stand terhadap proses yang dinilai cacat secara hukum dan etika.
SPRI sendiri telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto, mendesak penundaan pengesahan keanggotaan Dewan Pers 2025–2028.
Mereka meminta agar pemilihan dilakukan ulang berdasarkan mandat UU Pers, yakni dengan melibatkan seluruh organisasi wartawan dan perusahaan pers berbadan hukum, bukan hanya konstituen tertentu.
Krisis Legitimasi di Era Oligarki Media
Pernyataan Mandagie menyoroti lebih dalam tentang krisis legitimasi dan akuntabilitas dalam struktur pengelolaan pers nasional.
Ia menyebut konstituen Dewan Pers saat ini sebagai “alat pengkhianatan kemerdekaan pers,” yang menyimpang dari semangat reformasi dan kebebasan berekspresi yang ditegakkan sejak 1999.
Pengaturan media telah direduksi menjadi alat transaksi. Media lokal miskin, media besar berjaya. Sementara wartawan dijebak dalam sistem UKW yang dijadikan ladang bisnis elit, katanya.
Dalam konteks ini, keterlibatan figur publik seperti Busyro dan Komaruddin, alih-alih menjadi solusi, dikhawatirkan akan memberikan legitimasi moral terhadap sistem yang sedang dikritik keras oleh komunitas pers sendiri.