MEDIAPESAN – Polemik terkait izin operasional tempat hiburan malam (THM) kembali memicu perdebatan publik di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dua nama yang tengah menjadi sorotan adalah Venn Club dan Ibiza Club, di tengah kekhawatiran maraknya praktik usaha hiburan malam yang melampaui batas izin resmi.
Forum Peduli Pariwisata Sulsel, sebuah kelompok advokasi yang berfokus pada tata kelola pariwisata berkelanjutan, melontarkan kritik tajam terhadap lemahnya pengawasan perizinan di sektor ini.
Ketua forum, Andi Hafiz Indra, menuding banyak THM beroperasi hanya bermodalkan izin restoran atau kafe, namun dalam praktiknya berfungsi penuh sebagai bar atau diskotik.
Ini bentuk penyalahgunaan izin. Banyak tempat yang seolah-olah legal, padahal jelas melanggar aturan. Pemerintah provinsi harus bertindak tegas, ujar Hafiz dalam pernyataan pers, mencerminkan kekhawatiran akan meningkatnya aktivitas ilegal yang berdampak pada ketertiban dan citra kota.
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menanggapi polemik tersebut dengan menjelaskan kompleksitas regulasi yang mengatur perizinan minuman beralkohol (minol).
Ia menekankan bahwa kewenangan pemerintah kota terbatas hanya pada minol golongan A dan sebagian golongan B.
Untuk minol golongan B tingkat tinggi dan C, izin berada di tangan pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan.
Kami tidak bisa mengeluarkan izin untuk diskotik atau bar. Itu bukan wewenang kami, kata Munafri, mengacu pada pembagian otoritas yang sering kali menjadi celah administratif dalam penegakan aturan.
Sementara itu, Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2021 menjadi dasar hukum yang membatasi kegiatan usaha di wilayah kota.
Perda tersebut mengatur ketertiban umum dan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha bagi pelanggar.
Kasus Venn Club menjadi contoh nyata ambiguitas regulasi.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Makassar, Arlin Ariesta, menyebut bahwa tempat tersebut telah memiliki Surat Keterangan Penjualan Langsung (SKPL) untuk minol golongan B dan C melalui sistem Online Single Submission (OSS), dengan masa berlaku hingga 2025.
Namun, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Sulsel, Asrul Sani, menyangkal penerbitan izin tersebut untuk kegiatan diskotik atau THM.
Kami tidak pernah menerbitkan izin operasional untuk diskotik. Jika ada tempat yang menjalankan fungsi itu tanpa izin sah, maka akan kami tertibkan, kata Asrul, mempertegas posisi pemerintah provinsi terhadap praktik-praktik abu-abu dalam sektor hiburan.
Polemik ini menggambarkan betapa ruwetnya birokrasi perizinan di Indonesia, terutama ketika regulasi nasional, provinsi, dan kota saling tumpang tindih.
Di tengah meningkatnya tekanan dari publik dan kelompok sipil, transparansi dan konsistensi dalam implementasi kebijakan perizinan menjadi tuntutan mendesak.