Mediapesan | Enrekang – Kasus yang menimpa Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Enrekang kembali memicu perhatian publik setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Enrekang merilis penetapan tersangka terhadap sejumlah pengurusnya.
Di ruang publik, muncul berbagai narasi yang saling tumpang tindih, bahkan sebagian mengarah pada fitnah yang merusakkan martabat BAZNAS.
Padahal persoalan sesungguhnya jauh lebih kompleks, lebih serius, dan tidak sesederhana stigma “penyalahgunaan dana zakat” yang beredar.
Kasus ini bukan soal kesalahan internal BAZNAS, bukan soal setoran, bukan sogok-menyogok.
Dan bukan pula soal korupsi sebagaimana dikonstruksikan sepihak.
Persoalan ini adalah rangkaian panjang penyalahgunaan kewenangan, manipulasi informasi, tindakan ultra vires, serta dugaan pemerasan yang sejak awal membangun tekanan psikologis terhadap pengurus aktif dan non aktif BAZNAS.
Kronologi bermula pada tahun 2024 ketika Kejari Enrekang di bawah kendali mantan Kajari Padeli membuka penyelidikan dugaan korupsi dana zakat.
BAZNAS sudah menyerahkan audit internal, audit eksternal, laporan pertanggungjawaban, hingga hasil pemeriksaan syariah.
Semua dokumen itu ditolak, bahkan ketika BPKP—lembaga resmi yang berwenang mengaudit kerugian keuangan negara—menolak melakukan audit karena BAZNAS bukan pengelola keuangan negara, pihak Kejaksaan tetap memaksa Inspektorat Sulsel melakukan audit.
- Iklan Google -
Padahal berdasarkan UU 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP 14/2014, BAZNAS adalah Lembaga Pemerintah Non-Struktural yang berada di bawah BAZNAS RI dan Kementerian Agama, bukan perangkat Pemda, dan dana zakat bukan APBD ataupun APBN.
Karena itu Inspektorat Daerah tidak punya kewenangan mengaudit BAZNAS.
Audit tersebut melanggar Permendagri 8/2020 dan merupakan tindakan ultra vires, sehingga dokumen — LHP — batal demi hukum (void ab initio).
Meski demikian, LHP tidak sah itu justru dijadikan dasar Kejaksaan untuk menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan.
Inilah kesalahan fatal pertama yang meruntuhkan seluruh bangunan perkara.

Ketika penyidikan berjalan, tekanan terhadap pengurus BAZNAS makin terasa.
Pemanggilan dilakukan berulang-ulang, pemeriksaan dilakukan tanpa standar KUHAP, dan adanya dugaan kuat kriminalisasi bertahap.
Di tengah situasi itu, beredar kabar liar seolah komisiner BAZNAS “menyerahkan uang dua miliar lebih” sebagai bukti kesalahan mereka. Fakta sebenarnya berbeda jauh.
Penyerahan uang lebih dari 2 miliar rupiah itu memang ada, tetapi bukan karena inisiatif komisioner, bukan karena “setoran”, bukan karena “mengurus perkara”.
Itu terjadi karena tekanan, ancaman halus, permainan psikologis, dan manipulasi situasional yang dibangun oleh oknum mantan Kajari Padeli dan beberapa anggotanya.
Mereka menjanjikan penghentian perkara, pelunakan tuntutan, atau “mengamankan proses hukum” bila sejumlah uang diserahkan.
Sebaliknya, bila tidak dipenuhi, perkara akan dipercepat.
Dalam kondisi ketakutan dan tekanan institusional, pengurus tidak berada dalam posisi bebas.
Secara hukum, tindakan itu masuk kategori pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP.
Ketika BAZNAS menolak permintaan lanjutan, tekanan penyidikan justru meningkat drastis: pemanggilan dipadatkan, ancaman penahanan muncul, dan pemeriksaan staff dilakukan tanpa prosedur due process of law.
Semua ini adalah indikasi penyalahgunaan kewenangan, bukan penegakan hukum murni.
Dalam rilis Kejari, para pengurus dituduh melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor—pasal yang mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara. Di sinilah letak kekeliruan terbesar.
Dana zakat menurut UU Pengelolaan Zakat bukan bagian dari keuangan negara, bukan APBN/APBD, bukan PNBP, dan tidak berada dalam sistem pertanggungjawaban negara.
Putusan MA No. 1555 K/Pid.Sus/2015 dan Putusan MA No. 1644 K/Pid.Sus/2018 secara eksplisit menyatakan dana zakat tidak bisa dikualifikasikan sebagai keuangan negara.
Dengan demikian, memaksakan dana zakat ke dalam kerangka tipikor adalah tindakan yang keliru secara hukum, keliru secara perspektif, dan keliru secara administrasi negara.
Kejari juga menuduh adanya “operasional melebihi 50%”, “belanja pegawai”, dan “penerima zakat fiktif”.
Tuduhan-tuduhan ini muncul dari ketidaktahuan terhadap teknis pengelolaan zakat.
Dana Amil dalam syariah justru boleh digunakan untuk operasional amil, termasuk gaji, tunjangan, BPJS, dan biaya kerja, selama sesuai ketentuan syariah.
Sistem pengelolaan zakat bukan sistem anggaran pemerintah. BAZNAS tidak tunduk pada struktur belanja APBD.
Karena itu, perspektif penyidik yang memaksakan standar belanja negara terhadap lembaga zakat adalah bentuk kekeliruan metodologis yang sangat fatal.
Rilis tersebut juga mengutip angka “kerugian negara” sebesar Rp16 miliar, padahal untuk menyatakan kerugian negara, lembaga yang berwenang hanyalah BPK atau BPKP.
Dalam kasus ini, BPKP saja menolak karena objeknya bukan keuangan negara, maka angka ini tidak berdasar dan tidak memenuhi ketentuan pembuktian tipikor.
Sementara itu, pengembalian Rp1,1 miliar yang disebutkan Kejari bukanlah bukti korupsi.
Itu adalah bentuk kepatuhan administratif untuk merapikan dokumen, yang kemudian diseret ke dalam narasi seolah mengakui kesalahan.
Tidak ada satu pun unsur kesengajaan memperkaya diri sebagaimana disyaratkan Pasal 2 dan 3 Tipikor.
Di tengah seluruh tekanan itu, BAZNAS tetap memilih jalur hukum.
Mereka berhak—dan sangat mungkin menang—jika mengajukan praperadilan untuk membatalkan penyidikan karena:
1. Dasar hukum tidak sah,
2. Alat bukti tidak sah
3. Dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Dugaan pemerasan oleh oknum mantan Kajari juga telah dilaporkan ke Jamwas Kejagung, Kejati Sulsel, Komisi Kejaksaan, hingga kepolisian.
Pada akhirnya, publik perlu memahami bahwa kasus BAZNAS Enrekang bukan persoalan uang, bukan soal sogokan, bukan soal permainan komisioner.
Ini adalah persoalan keberanian BAZNAS menolak praktik kotor, melawan penyalahgunaan kekuasaan, dan mempertahankan kehormatan lembaga zakat.
Yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik pengurus, tetapi marwah lembaga zakat sebagai penjaga amanah umat.
BAZNAS memilih untuk lurus dan transparan, dan publik berhak mengetahui kebenaran itu.



