Mediapesan | Dumai – Proyek pembangunan jaringan gas (jargas) Dumai–Sei Mangkei segera memasuki fase krusial.
Setelah sempat molor, pemerintah memastikan pengerjaannya tetap on track dan ditargetkan dimulai dalam waktu dekat.
Proyek raksasa bernilai Rp6,6 triliun ini akan menjadi tulang punggung distribusi gas dari Wilayah Kerja Andaman (Aceh) menuju Sumatera dan Jawa—sebuah infrastruktur energi yang diklaim mampu mengubah wajah konsumsi gas rumah tangga di Indonesia.
Jika jargas beroperasi, “bunyi gesekan tabung melon” yang selama ini akrab di dapur warga diprediksi tinggal sejarah.
Risiko ledakan tabung yang sudah menelan korban jiwa juga perlahan akan hilang.
Gas rumah tangga akan dialirkan langsung melalui pipa, bukan lagi diangkut dengan tabung yang rawan dan mahal ongkos distribusinya.
Dengan demikian, harga gas diproyeksikan lebih murah karena mengurangi biaya logistik serta ketergantungan pada tabung berstandar rendah.
Namun di balik harapan itu, ada satu fase yang menentukan: tender proyek.
Tender Rp 6,6 Triliun: Ruang untuk Transparansi atau Celah Persekongkolan?
Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah Kementerian ESDM, tender Dumai–Sei Mangkei berada dalam pengawasan ketat.
Undang-undang mewajibkan proses terbuka dan kompetitif—tidak boleh ada penunjukan langsung.
Ketatnya pengawasan itu bukan tanpa alasan, proyek semasif ini hampir pasti disorot Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keduanya punya rekam jejak menangani kasus-kasus pengadaan besar, terutama ketika ada indikasi persekongkolan dan korupsi.
“Jika ada persekongkolan, biasanya di situ juga ada potensi korupsi,” kata seorang sumber di lingkungan pengadaan pemerintah.
Artinya, potensi intervensi penegak hukum pada tender ini bukan hal yang mengada-ada—bisa terjadi, bisa juga tidak.
Semua bergantung pada sejauh mana panitia dan peserta tender menaati prinsip fair competition.
Belajar dari Cisem: Satu Tahap Mulus, Tahap Berikutnya Disidang KPPU
Preseden buruk sudah pernah terjadi di proyek serupa.
Pada proyek CISEM Tahap I, tender berjalan mulus. Namun di CISEM Tahap II, pemenang tender justru kini disidang oleh KPPU setelah LSM Center for Energy Resources Indonesia (CERI) melaporkan dugaan persekongkolan sejak 2024.
Selama satu tahun penyelidikan, KPPU menemukan dua alat bukti kuat terjadinya pemufakatan jahat.
Jika terbukti, denda yang dijatuhkan bisa mencapai ratusan miliar.
Kasus itu juga membuka peluang KPK ikut masuk jika ditemukan unsur tindak pidana korupsi.
Jika sejarah adalah guru terbaik, maka Dumai–Sei Mangkei layak waspada.
CERI Kembali Bersuara: Syarat Teknis Diduga “Direkayasa”
CERI, lembaga yang melaporkan kasus CISEM sebelumnya, mengaku menemukan indikasi serupa pada dokumen kualifikasi tender Dumai–Sei Mangkei bernomor 01.PQ/DJM/MIGAS2.KESDM/2025 tertanggal 29 Agustus 2025.
Menurut mereka, ada sejumlah persyaratan yang dianggap tak lazim dan berpotensi menguntungkan pihak tertentu.
“Jika ada syarat diskriminatif, itu bisa masuk kategori mal-administrasi dan berpotensi tindak pidana korupsi,” ujar Sekretaris CERI, Hengki Seprihadi, mengutip laporan Riau Pos.
Tudingan ini membuat proses tender makin sensitif. Panitia harus memastikan seluruh ketentuan tidak memihak, dapat diakses peserta secara setara, serta mengikuti Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Isu Kolabilitas 3: Kenapa Peserta Kredit Macet Bisa Lolos?
Isu lain yang mengemuka adalah adanya peserta tender yang berstatus Kolabilitas 3 (Kol-3)—kategori kredit “kurang lancar”—namun tetap lolos verifikasi.
Dalam aturan perbankan, debitur Kol-3 berada dalam kondisi pembayaran pokok atau bunga yang tertunda antara 3–6 bulan.
Status ini umum dipandang sebagai risiko tinggi dan biasanya otomatis membuat pengajuan kredit ditolak.
Jika peserta Kol-3 dapat lolos, maka tak terhindarkan muncul pertanyaan: kenapa PT X bisa lolos sementara peserta lain gugur?
Jika peserta semacam itu menang, risiko pelanggaran aturan semakin besar.
Proyek Bersejarah yang Tak Boleh Dinodai
Jargas Dumai–Sei Mangkei bukan proyek biasa, ia akan menentukan akses energi jutaan warga dan mengurangi ketergantungan pada tabung LPG yang selama ini menjadi simbol mahalnya biaya distribusi.
Justru karena itu, publik menuntut agar proyek bersejarah ini tak tercemar praktik persekongkolan maupun korupsi.
Jika gagal menjaga integritas, manfaat sosial dan ekonomi yang dijanjikan bisa tenggelam oleh citra buruk pengadaannya.
Pada titik ini, pertanyaannya bukan hanya siapa yang menang tender, tetapi bagaimana proses itu berlangsung.
Sebab dalam proyek besar, integritas proses sama pentingnya dengan hasil akhir.



