Namlea | Mediapesan – Dua nelayan di Namlea, Kabupaten Buru, merasa dirugikan setelah alat tangkap ikan mereka—rompong—diputus oleh pihak PT Pelni Cabang Namlea.
Dugaan itu kini berujung pada laporan hukum.
Kuasa hukum kedua nelayan, Ambo Kolengsusu SH dan Mustafa Latuconsina, mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Pulau Buru, Selasa (30/9/2025).
Mereka melaporkan Kepala Cabang PT Pelni Namlea yang diduga memerintahkan anak buahnya untuk memutus tali dua rompong milik nelayan bernama Fahmi Lekan dan Rendi Wally (akrab disapa Labea).
Akibat perbuatan itu, klien kami mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah, kata Ambo.
Ia menegaskan bahwa rompong bukan sekadar alat tangkap, tetapi juga sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir.
Rompong, Rezeki Nelayan yang Rapuh di Tengah Kepentingan
Rompong atau rumpon—alat pengumpul ikan tradisional—sering menjadi andalan nelayan kecil di Maluku.
Dengan modal seadanya, mereka memasang tali dan pelampung agar ikan berkumpul, sehingga tangkapan lebih mudah.
Namun alat ini rawan konflik, apalagi ketika berhadapan dengan perusahaan besar atau kepentingan transportasi laut.
Dalam kasus ini, PT Pelni Namlea disebut memutus rompong dengan alasan yang belum sepenuhnya jelas.
- Iklan Google -
Sementara itu, nelayan merasa keputusan itu dilakukan sepihak dan tanpa ganti rugi.
Kalau laporan ini tidak segera ditindaklanjuti, kami akan naikkan perkara ini ke tingkat yang lebih tinggi, tegas Ambo Kolengsusu.
Menunggu Respons Aparat dan PT Pelni
Hingga kini pihak PT Pelni Cabang Namlea belum memberikan klarifikasi terbuka soal laporan ini.
Sementara masyarakat nelayan berharap kepolisian bertindak cepat agar kasus serupa tidak terulang.
Konflik antara perusahaan pelayaran dan nelayan lokal di perairan timur Indonesia bukan pertama kali terjadi.
Kasus rompong di Namlea menambah catatan panjang bagaimana akses dan ruang hidup nelayan kerap berbenturan dengan kepentingan industri transportasi laut.