Jakarta, 13 Juli 2025 (MEDIAPESAN) – Praktik rangkap jabatan oleh pejabat tinggi negara di badan usaha milik negara (BUMN) kembali disorot.
Ketua Umum DPP Gemar Indonesia sekaligus Koordinator Aliansi APIK 08, Lendry SM, SH, menyebut fenomena ini sebagai bentuk pelanggaran hukum yang serius dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan akut dalam tata kelola negara.
Menurut Lendry, rangkap jabatan yang dilakukan oleh sejumlah menteri, wakil menteri, dan pejabat tinggi lainnya sebagai komisaris di BUMN telah melanggar sejumlah aturan penting.
Ini bukan sekadar persoalan etika, tapi sudah masuk dalam ranah pelanggaran hukum, kata dia dalam keterangannya, Sabtu, 12 Juli 2025.
Setidaknya, ia menyebut ada empat regulasi yang dilanggar.
Pertama, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengatur asas profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi dalam pelayanan publik.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang secara tegas melarang wakil menteri merangkap jabatan lain.
Ketiga, UU BUMN Nomor 19 Tahun 2003 yang melarang komisaris maupun direksi merangkap jabatan di instansi pemerintahan.
Dan keempat, Pasal 23 UU Kementerian Negara, yang berlaku bagi para menteri dan wakil menteri.
- Iklan Google -
Akumulasi pelanggaran ini berbahaya. Tidak hanya melemahkan fungsi pengawasan, tapi juga menggerus independensi kelembagaan, baik di BUMN maupun kementerian, ujar Lendry.
Ia mengungkapkan, rangkap jabatan dapat membuka celah penyalahgunaan wewenang yang menjadikan BUMN sebagai alat transaksi kekuasaan atau loyalitas politik.
Padahal, katanya, BUMN seharusnya menjadi entitas profesional yang berfokus pada pelayanan publik dan efisiensi korporasi.
Dalam pandangannya, jabatan komisaris semestinya diisi oleh kalangan profesional yang bebas dari kepentingan politik.
BUMN harus steril dari tarik-menarik kekuasaan. Jika tidak, maka potensi kerugian negara akan semakin besar, kata Lendry.
Aliansi yang dipimpinnya kini tengah mendorong evaluasi menyeluruh terhadap praktik ini.
Ia berharap pemerintah dan DPR dapat segera melakukan tindakan korektif.
Kalau dibiarkan, ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan dan bisnis negara, ujarnya.