Mediapesan | Makassar – Aksi bentrok dua kelompok di Jalan Metro Tanjung Bunga, tepat di depan Mal MTC Makassar, akhir pekan lalu, Oktober 2025, sempat viral di berbagai platform media sosial.
Dalam video yang beredar, tampak dua massa saling serang dan melempar batu, disertai teriakan yang membuat warga sekitar panik.
Bentrok itu disebut melibatkan dua kubu besar: massa yang dikaitkan dengan PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation Tbk (PT GMTDC) dan pihak NV Hadji Kalla.
Namun, di balik kericuhan tersebut, persoalan utamanya ternyata bukan sekadar soal “penguasaan lahan,” melainkan sengketa hukum panjang yang telah berlangsung puluhan tahun.
Benang Panjang Persoalan Tanah
Menurut keterangan narasumber yang memahami sejarah tanah tersebut, lahan yang diperebutkan bukan milik kedua korporasi itu, melainkan milik Nurhayana Pammusurang, yang membeli tanah tersebut dari ahli waris Haji Abdul Hamid Daeng Lau.
Perlu diketahui bahwa PT GMTDC Tbk, melalui Haji Najamiah Muin, hanya bertindak sebagai kuasa dari Andi Muda Serang yang pernah berperkara melawan Kepala Kantor BPN Gowa tahun 1995, ungkap narasumber tersebut.
Dalam perkara itu, PT GMTDC sempat menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dengan putusan Nomor 69/G.TUN/1996/P.TUN Ujung Pandang.
Namun, hasil tersebut kemudian dibatalkan lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 26 PK/TUN/2008, di mana Mahkamah Agung memenangkan Kepala Kantor BPN Gowa.
Dengan demikian, Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor M25 atas nama Haji Abdul Hamid Daeng Lau dinyatakan sah dan hidup kembali, setelah sempat dicabut oleh BPN Sulsel pada 1997.
- Iklan Google -
Keterangan Tambahan dan Data Pertanahan
Masih menurut sumber yang sama, sejumlah sertifikat yang diklaim oleh NV Hadji Kalla—yakni SHGB Nomor 695/96, 696/96, 697/96, dan 698/96—memiliki luas sekitar 13,4 hektare, tetapi tidak mencakup area empang yang kini tengah menjadi sumber konflik.
Empang yang ditimbun itu bukan termasuk wilayah hak guna bangunan milik Hadji Kalla. Itu milik Haji Abdul Hamid Daeng Lau, yang sudah dibeli oleh Nurhayana Pammusurang, tegas narasumber.
Putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang Nomor 158/Pdt.G/1995/PN Ujung Pandang bahkan telah menetapkan batas-batas tanah secara jelas—dengan bagian utara berbatasan dengan Pak Said, timur dengan Nurhayana, selatan dengan Haji Abdul Hamid, dan barat dengan Aria Basir.
Hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 218 PK/Pdt/2005, yang menolak gugatan tambahan dari pihak lain dan mempertegas status hukum kepemilikan.
Permintaan Penegakan Hukum
Berdasarkan rangkaian putusan tersebut, PT GMTDC Tbk secara hukum tidak memiliki hak atas tanah seluas sekitar 16 hektare di lokasi sengketa.
Pihak yang kini disebut menguasai dan melakukan aktivitas pengerukan maupun penimbunan tanah, menurut narasumber, tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Kami berharap aparat penegak hukum bertindak tegas serta menghentikan pertikaian di lokasi tersebut. Keributan itu sudah mengganggu ketertiban umum, ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa Haji Abdul Hamid Daeng Lau tidak pernah menjual tanahnya kepada PT GMTDC maupun NV Hadji Kalla.
Kasus sengketa lahan seperti di Metro Tanjung Bunga ini bukan hal baru di Makassar.
Pola serupa—perpaduan antara tumpang tindih sertifikat, kuasa hukum yang berganti-ganti, dan lemahnya pengawasan pertanahan—membuat konflik agraria di perkotaan kerap berujung pada kekerasan.
Dalam situasi demikian, penegakan hukum dan kejelasan data kepemilikan menjadi kunci agar persoalan tak kembali pecah di lapangan.



