mediapesan.com | Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau lebih dikenal sebagai Wanaartha Life, masih bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha perusahaan tersebut, sebanyak 45 nasabah pemegang polis Wanaartha Life mengajukan gugatan di PN Jakarta Selatan.
Sidang dengan nomor perkara 773/Pdt.G/2023/PN.Jaksel, yang seharusnya berlangsung di ruang sidang Mudjono SH pada Selasa (16/07) 2024, ditunda pekan depan karena ada pergantian Ketua Majelis Hakim.
Dari 45 penggugat, termasuk PT. Holocad Indonesia dan PT. Jaya Investama Propertindo, telah mengajukan gugatan perkara Perbuatan Melawan Hukum sejak 4 Agustus 2023.
Pada sidang sebelumnya, saksi Juliana Pauli mengungkapkan bahwa tim likuidasi Wanaartha dibentuk oleh ‘buronan’ melalui rapat sirkuler.
Salah seorang tim likuidasi merupakan mantan karyawan Wanaartha Life bernama Sherly, yang dulu menjabat sebagai Divisi Investasi merangkap BOD Office. Selain itu, Ketua Tim Likuidasi Wanaartha diduga tidak bersertifikat likuidator. Tim likuidasi ini, yang dibentuk oleh pemegang saham buronan, tidak dapat bekerja secara objektif dan adil dalam membela kepentingan pemegang polis, ungkap Juliana Pauli.
Sementara itu, salah satu saksi, Johan Kwang, mengungkapkan fakta bahwa tim likuidasi hanya membagikan kurang dari 1 persen dana kepada nasabah.
Belum ada upaya yang dilakukan tim likuidasi untuk mencari aset Wanaartha, baik itu melalui gugatan perdata maupun pidana, padahal mereka sudah melakukan audit, jelas Johan Kwang.
Ia juga menambahkan, sebagai korban dan pemegang polis, pihaknya hanya memperoleh di bawah 1 persen dari dana yang seharusnya.
Menurutnya, OJK seharusnya melakukan penanganan hukum, bukan hanya mengurus sisa-sisa harta atau jaminan asuransi yang tidak sampai 1 persen diberikan kepada nasabah.
Johan Kwang menegaskan bahwa tim likuidasi tidak berkompeten dan terkesan melindungi kepentingan buronan.
Padahal sudah ada tujuh tersangka yang ditetapkan oleh Mabes Polri, namun belum ada satupun yang ditahan, ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pernah ada surat dari tim likuidasi yang menyatakan bahwa nasabah yang setuju dengan likuidasi tidak akan menggugat tim likuidasi lagi.
Nasabah yang ikut voting setuju akan dibayarkan tagihannya, sementara yang tidak setuju, tagihannya akan dikeluarkan.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan likuidasi dan sangat merugikan pemegang polis, hingga menyebabkan protes keras kepada OJK. Jika kami tidak memperoleh keadilan dan perlindungan hukum, sebaiknya bubarkan saja OJK, tegasnya.
Lebih lanjut, Kwang mengatakan bahwa tim likuidasi yang diangkat oleh OJK tidak transparan dan tidak membela kepentingan nasabah, karena diusulkan oleh oknum yang telah dinyatakan sebagai buronan oleh pihak kepolisian.
Kok bisa tim likuidasi dibentuk oleh buronan? Ini aneh bin ajaib, ujar Kwang penuh tanda tanya.
Akibat kejadian tersebut, para pemegang polis melayangkan gugatan di PN Jakarta Selatan. Kuasa hukum para penggugat, Dr. Benny Wullur SH, MH.Kes, mengatakan bahwa sidang ditunda karena ada pergantian Ketua Majelis Hakim.
Kasus Wanaartha Life ini muncul ke permukaan seiring dengan penyidikan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Dalam penyidikan Jiwasraya, Kejaksaan Agung memerintahkan pemblokiran ratusan rekening efek, salah satunya milik Wanaartha Life.
Berdasarkan surat manajemen Wanaartha Life yang dikirimkan kepada nasabah pada Rabu lalu (12/02/2020), terungkap bahwa Wanaartha Life belum dapat memenuhi kewajiban dan hak pemegang polis.
Perusahaan berkomitmen menyelesaikan masalah tersebut, namun hingga kini janji tersebut belum terpenuhi, menyebabkan nasabah mengajukan gugatan di PN Jakarta Selatan. ***