Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN), Universitas Borobudur, Universitas Terbuka (UT) dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA).
ARTIFICIAL Intelligence (AI) dan semakin pesatnya perkembangan atau progres digitalisasi terus mengubah mekanisme kerja pada hampir semua sektor, termasuk aktivitas produksi sektor industri manufaktur, perdagangan dan jasa lainnya.
Konsekuensi ikutannya tentu saja mengubah lanskap dunia kerja, karena permintaan pasar kerja akan kualifikasi pekerja juga berubah. Menuju bonus demografi dalam satu-dua dekade mendatang, Indonesia harus menanggapi perubahan lanskap dunia kerja itu dengan program-program yang adaptif dan berfokus pada kompetensi angkatan kerja.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa aktivitas sektor industri manufaktur, proses produksi, dan juga sektor jasa-jasa terus beradaptasi dengan progres digitalisasi yang didukung oleh ragam platform digital.
Dalam hidup keseharian, masyarakat juga sudah menikmati ragam layanan digital. Layanan transportasi, belanja aneka kebutuhan hingga beli makanan-minuman sampai layanan jasa bank.
Berpijak pada fakta seperti itu, semua orang dengan mudah bisa membuat kesimpulan bahwa sejumlah pekerjaan tidak lagi dilakukan atau dilayani oleh keahlian dan kreativitas manusia dalam statusnya sebagai pekerja atau karyawan.
Bagi publik perkotaan, fakta tentang hilangnya peran layanan manusia sangat mudah ditemukan saat membayar tarif tol atau tarif parkir di perkantoran maupun pusat-pusat belanja.
Ragam layanan jasa perbankan pun sudah mengandalkan teknologi digital. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa industri perbankan telah menutup begitu banyak kantor cabang, serta mem-PHK (pemutusan hubungan kerja) sampai ribuan karyawan.
Tema tentang hilangnya banyak pekerjaan akibat digitalisasi sudah begitu sering dibicarakan. Sebaliknya, pada saat bersamaan, munculnya pekerjaan atau profesi baru yang lahir dari digitalisasi pun sudah berulangkali dikemukakan.
Semua orang, utamanya generasi muda, diingatkan bahwa progres digitalisasi dan pemanfaatan AI tidak akan menimbulkan bencana atau disrupsi pada aspek ketenegakerjaan.
AI atau digitalisasi hanya mengubah lanskap dunia kerja, sehingga permintaan pasar kerja akan kualifikasi pekerja pun banyak berubah. Permintaan pasar kerja era terkini atau Industri 4.0 tidak sama lagi dengan era sebelumnya.
Selain hasil dari sejumlah penelitian terdahulu, laporan dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) bertema Future of Work 2023 layak untuk disimak dan dipertimbangkan, sebab laporan ini memberi gambaran tentang perubahan drastis lanskap dunia kerja akibat digitalisasi dan pemanfaatan AI.
Menurut Peneliti WEF, 23 persen dari tenaga kerja di segala bidang industri bakal berubah total dalam lima tahun ke depan, karena banyak pekerjaan pola lama yang tereliminasi akibat tampilnya peran profesi baru.
Pada 2027, masih menurut perkiraan WEF, 69 juta posisi pekerjaan baru tercipta. Namun, dalam rentang waktu yang sama, sekitar 83 juta pekerjaan akan hilang.
Perkiraan ini menjelaskan bahwa digitalisasi dan pemanfaatan AI menyebabkan pasar kerja butuh pekerja dengan kualifikasi baru untuk mengimplementasi perangkat AI.
Sebab, munculnya sejumlah profesi baru berbasis AI menyebabkan pekerjaan administratif pola lama semakin minim pemanfaatannya.
Didorong oleh kecenderungan yang tak terelakan itu, kesadaran serta pemahaman tentang perubahan lanskap dunia kerja itu perlu semakin diintensifkan di dalam negeri.
Dan, negara hendaknya menjadi instrumen terdepan yang menyebarluaskan pemahaman dan kesadaran di kalangan generasi muda, utamanya generasi Z.
Karena dunia kerja berubah, orang-orang muda harus diberi ruang dan kesempatan untuk membangun kompetensi agar mereka tidak gagap menanggapi perubahan zaman.
Untuk generasi Z, misalnya, mereka harus memperoleh informasi yang lebih mendetil tentang kebutuhan pasar kerja pada era digitalisasi dan pemanfaatan AI, termasuk profesi baru dengan ragam kualifikasinya.
Tak kalah pentingnya adalah respons dunia pendidikan karena berkait langsung dengan urgensi literasi digital bagi masyarakat, serta upaya memberi ruang bagi orang muda membangun kompetensi mereka.
Tentunya dibutuhkan penyesuaian kurikulum pendidikan yang relevan untuk menyiapkan orang-orang muda agar kompenten beradaptasi dengan progres digitalisasi dan pemanfaatan AI.
Faktor lain yang tidak bisa dipisahkan adalah keharusan menyediakan infrastruktur teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam negeri yang benar-benar mumpuni.
Karena Indonesia sudah melakoni digitalisasi, percepatan pembangunan infrastruktur TIK yang mumpuni tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah hendaknya lebih bersungguh-sungguh mewujudkan infrastruktur TIK yang handal.
Saat ini, dapat diasumsikan bahwa kapasitas dan kapabilitas Infrastruktur TIK Indonesia belum mumpuni, karena target pembangunannya masih jauh dari rampung.
Oleh pemerintah, pembangunan infrastruktur TIK ditargetkan rampung pada 2032. Oleh karena perubahan berlangsung begitu cepat, upaya merampungkan pembangunan infrastruktur TIK patut diprioritaskan agar jaringan internet bisa tersedia di semua wilayah tanah air.
Jangan lagi ada wilayah atau desa yang berstatus blank spot. Pemerintah pernah mencanangkan program Desa Digital untuk menggabungkan TIK dalam pelayanan publik dan kegiatan perekonomian di desa.
Orang-orang muda di pedesaan tentu sangat berharap program seperti ini segera direalisasikan.
Sangat relevan pula untuk mengaitkan perubahan lanskap dunia kerja saat ini dengan bonus demografi Indonesia dalam satu-dua dekade mendatang.
Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Pada dekade itu, 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-64 tahun). Dan, sisanya 30 persen, merupakan komunitas penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun.
Pada dekade 2030-2040-an itu, progres digitalisasi mungkin semakin pesat dan pemanfaatan AI semakin luas.
Kalau sebagian saja dari 70 persen penduduk Indonesia usia produktif itu tidak cukup kompeten dengan dunia kerja saat itu, tentu akan menimbulkan masalah.
Jika bonus demografi tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, dampaknya cukup serius. Akan muncul masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, memburuknya kesehatan komunitas tertentu hingga tingginya kriminalitas.
Dalam konteks menciptakan lapangan kerja baru di era digitalisasi, otomatisasi dan pemanfaatan AI, negara harus peduli pada upaya membangun kompetensi angkatan kerja atau komunitas penduduk usia produktif. ***