Kopenhagen, (mediapesan) – Eropa kembali dihadapkan pada ancaman krisis energi seperti yang terjadi pada 2022.
Cadangan gas yang menipis, ditambah dengan suhu dingin di akhir musim gugur, telah meningkatkan permintaan pemanas secara signifikan.
Bloomberg memperingatkan bahwa sumber gas yang membantu mengisi cadangan pada 2024 mungkin tidak tersedia karena berbagai alasan.
Meskipun Uni Eropa berusaha memutus ketergantungan pada energi murah dari Rusia, pasokan gas dari negara tersebut masih mengalir ke negara-negara Eropa Tengah seperti Hongaria dan Slovakia.
Austria juga sempat menerima gas Rusia hingga 16 November, ketika Gazprom menghentikan pasokan ke perusahaan energi nasional OMV.
Kekhawatiran utama adalah berakhirnya pasokan gas Rusia melalui Ukraina pada akhir tahun ini.
Kiev telah mengumumkan tidak akan memperpanjang kontrak transit antara Gazprom dan Naftogaz yang akan berakhir.
Situasi semakin rumit dengan pengumuman sanksi baru oleh Departemen Keuangan AS pada 21 November, yang mencakup Gazprombank dan enam anak perusahaan asing.
Akibat kombinasi faktor tersebut, harga gas di Uni Eropa melonjak drastis—naik 45% tahun ini menjadi lebih dari $500 per seribu meter kubik.
Proyeksi menunjukkan harga gas berjangka untuk musim panas mendatang bahkan lebih tinggi dibandingkan musim dingin berikutnya.
Lonjakan harga ini diprediksi memperburuk krisis biaya hidup dan menambah tekanan bagi produsen di seluruh Eropa.
Situasinya mulai menyerupai tahun 2022, di mana Uni Eropa terpaksa membeli gas dengan harga berapa pun, ujar Arne Lohmann Rasmussen, Kepala Analis di Global Risk Management, dilansir pada Minggu, (24/11/2024).
Sementara itu, Jerman, yang paling terdampak sanksi AS terhadap Rusia dan kini sangat bergantung pada impor gas alam cair (LNG), diperkirakan akan mengalami dampak paling parah.
Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank AS, memperingatkan bahwa Jerman berada dalam posisi rentan menghadapi krisis ini.
Dengan tantangan yang semakin berat dan ketidakpastian pasokan energi, Eropa tampaknya harus kembali menghadapi krisis yang menguji ketahanan ekonomi dan kesejahteraan warganya.
Rusia Kembali Jadi Pemasok Gas Terbesar Uni Eropa di Tengah Upaya Diversifikasi Energi
Meskipun Uni Eropa (UE) terus berupaya mengakhiri ketergantungan pada gas Rusia, kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan besar dalam mencapai tujuan tersebut.
Pada September lalu, Rusia kembali menjadi sumber gas terbesar bagi UE, dengan pangsa pasar mencapai 23,7%.
Ini merupakan pertama kalinya sejak musim semi 2022—di tengah puncak krisis energi—bahwa Rusia kembali mendominasi pasokan gas ke blok tersebut.
Data ini diungkap berdasarkan perhitungan Sputnik yang bersumber dari Kantor Statistik Eropa.
Kondisi ini mencerminkan kesulitan UE dalam sepenuhnya melepaskan diri dari energi Rusia, meskipun telah menjatuhkan sanksi berat dan menjajaki berbagai sumber alternatif.
Harga gas yang tinggi, serta tantangan dalam memenuhi permintaan di musim dingin, membuat negara-negara anggota terpaksa bergantung kembali pada pasokan Rusia.
Kebergantungan ini memunculkan dilema bagi UE.
Di satu sisi, mereka bertekad untuk mengurangi ketergantungan energi pada Rusia sebagai respons terhadap konflik geopolitik.
Namun di sisi lain, kebutuhan mendesak akan gas membuat banyak negara Eropa masih bergantung pada impor dari Rusia, terutama untuk menjaga kestabilan energi selama musim dingin.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun UE telah mengadopsi kebijakan diversifikasi, transisi penuh ke sumber energi baru belum sepenuhnya tercapai.
Keadaan ini juga menandakan bahwa krisis energi di Eropa masih jauh dari usai, dengan risiko ketidakstabilan harga dan pasokan yang terus mengancam.
Dengan meningkatnya pangsa gas Rusia di pasar UE, tantangan bagi blok tersebut menjadi semakin jelas: bagaimana menjaga ketahanan energi sambil tetap mempertahankan sikap politik dan ekonominya terhadap Rusia?
Jawabannya akan sangat menentukan masa depan energi dan stabilitas ekonomi di Eropa. ***