Jakarta (mediapesan) – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapuskan aturan presidential threshold menuai respons beragam di kalangan politik.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menilai bahwa langkah ini membawa konsekuensi kompleks bagi dinamika politik Indonesia.
Di satu sisi, keputusan ini membuka peluang lebih luas bagi partai politik untuk mengusung calon presiden (capres), tetapi di sisi lain, ada risiko yang mengancam stabilitas politik.
Peluang Lebih Luas, Risiko Lebih Tinggi
Penghapusan presidential threshold memungkinkan setiap partai politik untuk mencalonkan capres tanpa harus memenuhi syarat minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional, sebagaimana diatur sebelumnya.
Bamsoet menjelaskan bahwa konsekuensi dari kebijakan ini adalah meningkatnya jumlah pasangan calon presiden.
Dari tiga pasangan calon di Pilpres 2024, jumlah ini bisa melonjak menjadi empat hingga enam pasangan pada Pilpres 2029, ungkapnya di Jakarta, Kamis (9/12/2024).
Namun, banyaknya pasangan calon tidak selalu menjadi indikasi positif bagi demokrasi.
Bamsoet menyoroti risiko fragmentasi politik, polarisasi masyarakat, hingga tingginya biaya politik.
Dalam pemilu presiden Brasil tahun 2018, misalnya, terdapat 13 kandidat, yang banyak di antaranya tidak memiliki pengalaman politik yang memadai. Ini menciptakan kebingungan bagi pemilih dan melemahkan kualitas kepemimpinan, tambahnya.
Tantangan: Kualitas Calon dan Polarisasi Politik
Menurut Bamsoet, tantangan utama pasca-penghapusan presidential threshold adalah memastikan kualitas kandidat.
Partai politik harus mendorong munculnya capres yang memiliki visi misi jelas, agenda politik inklusif, dan kemampuan memimpin. Pemilih juga harus diedukasi untuk memilih berdasarkan kualitas, bukan popularitas semata, tegasnya.
Bamsoet juga menyoroti potensi polarisasi yang semakin tajam di tengah masyarakat.
Data Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan bahwa 42% masyarakat merasa politik Indonesia semakin terpecah.
Dengan lebih banyak kandidat, risiko polarisasi ini bisa meningkat.
Indonesia yang beragam sangat rentan terhadap perpecahan jika persaingan politik tidak dikelola dengan baik, ujarnya.
Biaya Politik dan Kompleksitas Pemilu
Banyaknya kandidat juga berpotensi meningkatkan biaya politik.
Biaya kampanye, logistik, hingga kemungkinan meningkatnya praktik politik uang menjadi tantangan serius.
Dengan banyaknya pasangan calon, hampir pasti Pilpres akan berlangsung lebih dari satu putaran. Ini menambah beban biaya Pemilu bagi pemerintah, jelas Bamsoet.
Langkah Strategis Mengatasi Dampak Negatif
Untuk meminimalkan dampak negatif penghapusan presidential threshold, Bamsoet menekankan perlunya langkah-langkah strategis, seperti:
1. Regulasi Kualitas Calon: Pemerintah dan DPR perlu memperkuat regulasi untuk menetapkan standar kualitas capres.
2. Edukasi Politik Masyarakat: Pemilih harus diberi pemahaman mengenai pentingnya memilih pemimpin berkualitas.
3. Peningkatan Kapasitas Partai Politik: Partai harus membina kadernya agar mampu menjadi pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
4. Transparansi Dana Kampanye: Langkah ini penting untuk mencegah penyalahgunaan dana politik.
Demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan kebebasan politik, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan pemimpin yang terpilih memiliki kapasitas memimpin bangsa, pungkas Bamsoet.
Keputusan MK ini memang membawa perubahan besar dalam lanskap politik Indonesia.
Namun, keberhasilan implementasinya akan sangat bergantung pada kemampuan seluruh pihak untuk menjaga kualitas demokrasi sekaligus mengatasi potensi risiko yang muncul. ***