MEDIAPESAN – Beijing-Washington kembali berseteru. Kali ini, langit pun jadi medan tempurnya, (18/4/2025).
Dalam langkah balasan yang mengejutkan, pemerintah China memutuskan untuk menghentikan pengiriman lebih lanjut jet penumpang buatan Boeing.
Tidak hanya itu, maskapai penerbangan dalam negeri juga diminta untuk secara bertahap menghentikan penggunaan suku cadang pesawat buatan Amerika Serikat.
Keputusan ini datang tak lama setelah pemerintahan AS di bawah kebijakan dagang Trump kembali memberlakukan tarif tinggi terhadap berbagai produk asal China.
Ini bukan sekadar gesekan dagang, ini sudah memasuki wilayah pertikaian besar-besaran.
Langkah Beijing dinilai sebagai sinyal keras bahwa sektor strategis seperti penerbangan tak lagi dibiarkan netral.
Industri aviasi, yang selama ini cenderung menjadi simbol kerja sama bilateral, kini justru menjadi panggung konfrontasi.
Boeing di Tengah Badai
Di sisi lain, Boeing berada di posisi serba sulit.
Raksasa dirgantara asal AS itu tengah berjuang memulihkan reputasinya setelah serangkaian kecelakaan fatal yang melibatkan model 737 MAX.
Kini, giliran tekanan geopolitik yang membuat sahamnya terjun bebas dan pesawat-pesawat pesanannya terbengkalai di hanggar.
Dengan pasar China sebagai salah satu penyumbang utama permintaan pesawat komersial global, keputusan ini bisa berdampak besar terhadap neraca Boeing dan industri penerbangan Amerika secara keseluruhan.
Lebih dari Sekadar Jet
Apa yang dilakukan China bukan semata boikot jet. Ini adalah pesan simbolik sekaligus strategis: bahwa ketergantungan pada suku cadang dan teknologi AS bisa menjadi titik lemah yang harus diatasi.
Pakar geopolitik menilai, langkah ini bisa menjadi pendorong bagi China untuk mempercepat pengembangan pesawat buatan lokal seperti COMAC C919, sekaligus menggandeng negara-negara non-Barat dalam ekosistem penerbangan global yang baru.
Langit Bukan Lagi Batas
Perang dagang kini telah menembus langit. Jika sebelumnya tarif dan bea masuk menjadi senjata, kini giliran jet komersial dan onderdilnya yang jadi peluru.
Satu hal yang pasti: tensi antara dua ekonomi terbesar dunia ini belum akan mendarat dalam waktu dekat.