Harga melonjak usai Trump umumkan tarif 50 persen. Tapi ini bukan sekadar soal pasar—tembaga kini jadi logam paling strategis di dunia.
MEDIAPESAN – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang pasar global.
Dalam pidatonya awal pekan ini, ia mengumumkan tarif impor sebesar 50 persen untuk tembaga.
Hanya dalam hitungan jam, harga logam merah itu melonjak ke rekor tertinggi.
Tapi di balik gejolak harga, sesungguhnya ada cerita yang jauh lebih besar: tembaga bukan lagi sekadar komoditas industri—melainkan fondasi kekuatan ekonomi dan militer global.
Tak Ada Tembaga, Tak Ada Listrik
Tembaga adalah penghantar listrik paling efisien kedua setelah perak—dan jauh lebih murah.
Artinya, nyaris setiap kabel, trafo, dan jaringan listrik di dunia bergantung padanya.
Dari ladang angin di Texas hingga ponsel pintar di Jakarta, dari pusat data AI hingga charger kendaraan listrik, tembaga hadir di jantung semua sistem.
Kalau listrik adalah darah kehidupan modern, maka tembaga adalah pembuluh darahnya, ujar seorang analis energi yang dikutip dari Sputnik, (10/7/2025).
- Iklan Google -
Mesin Penggerak Kendaraan Listrik
Revolusi kendaraan listrik (EV) menambah tekanan terhadap permintaan tembaga.
Sebuah mobil listrik rata-rata menggunakan dua setengah hingga empat kali lebih banyak tembaga dibanding mobil konvensional—mulai dari motor listrik, baterai, sistem pengisian, hingga kabel-kabelnya.
Dengan lonjakan produksi EV secara global—didorong target nol emisi dan insentif negara—tembaga kini menjadi elemen krusial dalam masa depan industri otomotif.
Tembaga di Balik Radar dan Rudal
Bukan hanya sektor sipil yang menggantungkan harapan pada tembaga. Dunia militer juga bergantung padanya.
Dari drone tempur, sistem radar, hingga kapal perang—semua membutuhkan tembaga untuk komunikasi, tenaga, dan pendinginan.
Tak mengherankan jika Departemen Pertahanan Amerika Serikat secara resmi menetapkan tembaga sebagai “logam strategis” yang vital untuk keamanan nasional.
Tulang Punggung Infrastruktur AI
Di era kecerdasan buatan, tembaga kembali mengambil peran sentral.
Chip, GPU, server, sistem pendingin, hingga pusat data raksasa mengandalkan tembaga untuk efisiensi daya dan pengendalian suhu.
Semakin besar dan kompleks model AI, semakin banyak tembaga dibutuhkan.
AI mungkin berbasis algoritma, tulis seorang pakar teknologi, tapi kekuatannya tetap butuh logam.
Krisis Pasokan di Tengah Ledakan Permintaan
Namun lonjakan permintaan tembaga tak diimbangi dengan pasokan yang stabil.
Tambang-tambang baru lambat diluncurkan karena regulasi yang kian ketat dan biaya eksplorasi yang tinggi.
Saat yang sama, Tiongkok menguasai lebih dari 40 persen kapasitas penyulingan tembaga dunia—menjadikannya titik rawan dalam geopolitik global.
Tiga Raja Tembaga Dunia
Chili tetap menjadi raja tak terbantahkan, dengan ekspor lebih dari 5,5 juta metrik ton tembaga per tahun.
Peru menyusul di angka 2,5 juta ton, sementara Republik Demokratik Kongo mencatat lonjakan dramatis, menembus dua juta ton per tahun dalam beberapa tahun terakhir.
Dari Komoditas Menjadi Instrumen Kekuasaan
Di tengah krisis energi, ketegangan geopolitik, dan transisi teknologi, tembaga telah melampaui statusnya sebagai logam industri.
Ia kini adalah kartu truf dalam perebutan kekuasaan global.
Mengendalikan tembaga berarti mengendalikan energi bersih, kendaraan listrik, kecerdasan buatan, dan sistem persenjataan—pilar-pilar dominasi masa depan.
Seperti kata seorang diplomat senior, “Jika abad ke-20 adalah tentang minyak, maka abad ke-21 adalah tentang tembaga.”