mediapesan.com | Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Thomas Aquinas baru saja menggelar Kongres Nasional ke-XXXIII dan Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA) ke-XXXII dari tanggal 7-15 Juli 2024 di Vertenten Sai, Jalan Cikombong, Kelapa Lima Merauke.
Namun, kongres ini meninggalkan beberapa perdebatan internal, terutama terkait terpilihnya Susana Florika Marianti Kandaimau sebagai Mandataris MPA yang dinilai kontroversial.
Terpilihnya Susana menimbulkan reaksi dari kader PMKRI di seluruh Indonesia, yang mengirim surat kepada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Dalam surat tersebut, mereka menyampaikan sejumlah pelanggaran konstitusi, AD/ART, dan TAP yang dilakukan oleh Susana. Mereka melampirkan bukti-bukti serta kronologi lengkap pemilihan.
Pelanggaran Yuridis dan Organisatoris
Salah satu poin utama yang disoroti adalah pelanggaran terhadap Anggaran Dasar PMKRI Pasal 8 Ayat 2 huruf a, yang menyatakan bahwa masa keanggotaan anggota biasa berakhir setelah 11 tahun sejak pertama kali terdaftar sebagai mahasiswa.
Berdasarkan data PDDIKTI, Susana Florika Marianti Kandaimau terdaftar sebagai mahasiswi Akademi Sekretaris Saint Theresia Jakarta sejak tahun 2010. Dengan demikian, masa keanggotaannya berakhir pada tahun 2021.
Selain itu, Susana juga dituding melanggar Tap MPA No. 13 Tahun 1992 tentang perangkap fungsionaris intern Pasal 1, yang menyatakan bahwa fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) tidak diperbolehkan menduduki jabatan di Pengurus Pusat PMKRI.
Pada saat forum MPA berlangsung, Susana masih menjabat sebagai Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium DPC PMKRI Merauke, yang membuatnya tidak layak menjadi Pengurus Pusat PMKRI.
Reaksi dan Tuntutan Kader PMKRI
Puluhan cabang PMKRI menegaskan bahwa dengan dua pelanggaran tersebut, Susana telah melanggar Pasal 17 Ayat 2 AD/ART yang mengharuskan setiap anggota untuk tunduk dan patuh pada aturan perhimpunan.
Mereka juga menyatakan bahwa tindakan Susana mencederai nilai, semangat, dan jiwa PMKRI yang berlandaskan intelektualitas, kristianitas, dan fraternitas.
Mereka mendesak KWI untuk tidak memberikan Surat Keputusan (SK) pelantikan bagi Susana sebagai Mandataris MPA XXXII.
Mereka berharap KWI dapat menjadi jembatan untuk melakukan peninjauan kembali terkait pemilihan dan pengangkatan Mandataris MPA, serta menyelesaikan masalah ini secara internal terlebih dahulu.
Di akhir surat, mereka menegaskan bahwa isu ini bukan soal politik kesukuan, melainkan soal penegakan nilai, semangat, dan aturan perhimpunan yang harus diinternalisasi.
Mereka mengingatkan bahwa setiap calon Ketua Presidium Pengurus Pusat harus memenuhi syarat formal yang berlaku di perhimpunan. ***
(sp/pl)