(mediapesan) – Sejak meletusnya perang di Ukraina, Uni Eropa menghadapi krisis energi yang belum sepenuhnya diakui secara transparan oleh para pemimpinnya.
Keberhasilan menghadapi musim dingin lalu lebih disebabkan oleh keberuntungan dari cuaca yang hangat, bukan strategi canggih seperti yang diklaim.
Kini, situasi semakin memburuk, dengan dampak besar bagi perusahaan dan rumah tangga di seluruh benua.
Dampak Ekonomi yang Menghantam Perusahaan dan Konsumen
Melansir dari laporan Bloomberg (22/11/2024), bahwa harga gas dan listrik melonjak tajam, harga grosir gas di Eropa minggu ini mencapai €47 per megawatt-jam (MWh), dua kali lipat dibandingkan Februari lalu.
Meski jauh di bawah puncak krisis 2022 yang menembus €300 per MWh, angka ini tetap sekitar 130% lebih tinggi dari rata-rata 2010-2020.
Untuk perusahaan besar yang bergantung pada energi, situasi ini membawa malapetaka.
Hampir setiap minggu, ada pengumuman penutupan pabrik, PHK massal, dan kerugian bernilai miliaran euro.
Rumah tangga pun tak luput dari dampak. Harga eceran gas dan listrik diperkirakan naik, mendorong inflasi lebih tinggi.
Hal ini menambah tekanan bagi Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Inggris, yang harus menyeimbangkan kebijakan moneter di tengah ketidakpastian.
Dilema Investasi Global
Perbedaan harga gas antara Eropa dan Amerika Serikat memperjelas tantangan yang dihadapi.
Harga gas di Eropa, yang diukur dengan tolok ukur TTF, mencapai sekitar $14 per juta British Thermal Units (mBTU). Sebaliknya, di AS, harga hanya sekitar $3 per mBTU.
Perbedaan besar ini membuat investor global lebih memilih AS, menambah tekanan pada sektor manufaktur Eropa.
Dengan musim dingin yang semakin dekat, Eropa harus menghadapi kenyataan bahwa tanpa strategi jangka panjang yang efektif, krisis ini dapat semakin dalam.
Keberuntungan cuaca tidak selalu bisa diandalkan, dan tantangan energi ini mengancam masa depan industri serta kesejahteraan warga Eropa. ***