MEDIAPESAN – Ratusan warga menggelar aksi damai pada Minggu (18 Mei) di depan Perumahan Gubernur di Kecamatan Manggala, Kota Makassar, untuk menuntut keadilan atas sengketa lahan seluas 52 hektare yang masih berproses di pengadilan.
Aksi ini diorganisasi oleh Forum Warga Bersatu Perumahan Gubernur dan Pemda Kelurahan Manggala sebagai bentuk penolakan terhadap putusan pengadilan tinggi yang memenangkan Mahdalena, pihak yang mengklaim sebagai ahli waris atas lahan tersebut.
Menurut warga, dasar klaim Mahdalena mengacu pada dokumen kolonial era Belanda, yakni Eigendom Verponding, yang mereka nilai tidak lagi memiliki kekuatan hukum di era Indonesia merdeka.
Pemerintah seharusnya menolak dokumen seperti itu, apalagi jika tidak diakui oleh Balai Harta Peninggalan atau BPN, tegas Ketua Forum Warga Bersatu, Sadaruddin, dalam keterangannya kepada media.
Enam Tuntutan Warga
Dalam aksinya, warga menyampaikan enam tuntutan utama yang menjadi sikap kolektif mereka:
1. Menolak proses peradilan yang dianggap tidak berpihak dan terindikasi dikendalikan oleh mafia tanah.
2. Mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku mafia tanah, termasuk jika melibatkan oknum institusi negara.
3. Menuntut tanggung jawab Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar dalam menjaga dan mengamankan aset negara.
4. Mengecam segala bentuk intimidasi dan aksi premanisme di wilayah Manggala.
5. Menolak penggunaan hukum warisan kolonial dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
6. Menuntut kejelasan hukum serta perlindungan terhadap hak tempat tinggal yang telah mereka tempati secara sah dan damai selama bertahun-tahun.
Aspek Hukum Agraria
Dalam konteks hukum Indonesia, dokumen Eigendom Verponding tidak lagi berlaku sejak diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960.
Para ahli hukum menilai bahwa klaim berbasis dokumen warisan kolonial harus melalui verifikasi ketat, terutama jika dokumen tersebut tidak tercatat di sistem pertanahan nasional.
Jika dokumen itu terbukti tidak sah atau dipalsukan, warga dan pemerintah daerah memiliki landasan hukum untuk menempuh jalur pidana.
Saat ini, warga mengaku tengah mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut, namun masih menunggu hasil konsultasi dengan pihak berwenang, termasuk klarifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Aksi Damai dan Langkah Selanjutnya
Aksi damai ini berlangsung tertib dengan pengamanan dari aparat kepolisian.
Sejumlah warga lain yang turut hadir menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya praktik mafia tanah di Sulawesi Selatan.
Sadaruddin menegaskan bahwa perjuangan warga tidak akan berhenti di aksi ini saja.
Forum berencana mengajukan permohonan dengar pendapat ke DPRD Sulawesi Selatan serta mengirim surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
Ini bukan hanya soal kami. Ini soal masa depan anak-anak kami dan hak kami sebagai warga negara, ujarnya menutup aksi tersebut.