Oleh: Ir. Soegiharto Santoso, SH.
(Waketum DPP SPRI, Pemimpin Redaksi Media Biskom dan Guetilang, serta Waketu Kompetisi Jurnalis Kebangsaan Mahasiswa)
Jakarta – Sorotan tajam mengarah pada putusan Pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung, yang melibatkan PT Timah Tbk.
Putusan 6,5 tahun penjara terhadap terdakwa Harvey Moeis dinilai terlalu ringan, terutama mengingat kerugian negara yang disebut mencapai Rp300 triliun.
Presiden RI, Prabowo Subianto, menyatakan ketidakpuasannya dengan vonis tersebut dan bahkan menyarankan hukuman hingga 50 tahun penjara.
Pernyataan ini memicu kontroversi luas, baik di kalangan masyarakat maupun pakar hukum.
Di balik keributan ini, muncul satu isu mendesak: apakah angka kerugian negara sebesar Rp300 triliun itu benar-benar akurat?
Kerugian Negara vs. Kerugian Keuangan Negara
Perbedaan mendasar antara “kerugian negara” dan “kerugian keuangan negara” menjadi kunci untuk memahami kasus ini.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah “kerugian keuangan negara” secara spesifik digunakan untuk merujuk pada kerugian yang dapat dihitung berdasarkan audit instansi berwenang seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menurut Pasal 32 UU Tipikor, kerugian negara harus dapat dibuktikan secara konkret, bukan hanya berdasar potensi.
Namun, sejumlah ahli mempertanyakan keabsahan angka Rp300 triliun yang diungkap Jaksa Agung.
Ahli hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita, bahkan menyoroti risiko ketidakadilan jika data awal bermasalah.
Jika kerugian negara itu hanya berupa potensi, bukan riil, bagaimana pembuktian hukumnya? Data yang salah akan menghasilkan disparitas hukuman, dan itu melukai rasa keadilan, ungkap Romli.
Sumber Data Dipertanyakan
Profesor Sudarsono Soedomo dari Institut Pertanian Bogor turut mengkritik validitas data kerugian.
Menurutnya, angka Rp300 triliun lebih mencerminkan potensi kerugian yang mencakup dampak lingkungan dan ekonomi jangka panjang, bukan kerugian keuangan langsung.
Kejaksaan Agung harus lebih berhati-hati. Angka ini mungkin terlalu tinggi karena didasarkan pada data tidak valid. Potensi kerugian tidak bisa disamakan dengan kerugian keuangan nyata, jelas Sudarsono.
BPK Perlu Turun Tangan
Di tengah ketidakpastian ini, penting bagi BPK untuk mengambil peran aktif.
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional dalam menghitung kerugian negara, BPK harus memastikan angka kerugian yang diaudit benar-benar mencerminkan realitas.
Langkah ini bukan hanya memperjelas dasar hukum vonis pengadilan, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.
Sebab, vonis yang rendah terhadap terdakwa seperti Harvey Moeis bisa jadi disebabkan oleh lemahnya pembuktian terkait kerugian negara yang dituduhkan.
Keadilan dan Kepastian Hukum
Vonis ringan dalam kasus ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara ekspektasi publik, tuntutan jaksa, dan putusan hakim.
Jika memang kerugian negara terbukti mencapai Rp300 triliun, hukuman yang lebih berat akan mencerminkan keadilan.
Namun, jika angka tersebut tidak akurat, penting bagi semua pihak untuk mengoreksi narasi yang sudah terlanjur menyebar.
Untuk itu, transparansi dan akurasi data menjadi kunci utama.
Tanpa ini, polemik akan terus berlanjut, dan masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum. ***