Makassar (mediapesan) – Jupri, seorang pengamat sosial, mengkritik keras lambannya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar.
Saat ditemui di sebuah warkop di Jalan Gunung Salahutu, (16/1/2025), ia menyoroti salah satu kasus yang kini menarik perhatian publik, yakni kasus pengambilan paksa anak oleh mantan atasan pelapor.
Kasus ini melibatkan anak sebagai korban yang sangat rentan. Respon lambat, dengan alasan seperti libur lebaran, jelas tidak dapat dibenarkan karena menyangkut keselamatan anak, tegas Jupri.
Kasus tersebut telah dilaporkan dengan nomor laporan LP/410/III/2024/Restabes Mksr/Polda Sulsel, di mana penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP-Sidik/270/VI/RES.1.24/2024/Reskrim pada 26 Juni 2024.
Pasal yang diterapkan adalah Pasal 330 Ayat (1) KUHP, terkait tindakan penarikan paksa anak di bawah umur dari kekuasaan yang berwenang.
Kritik terhadap Etika dan Prosedur
Jupri menyoroti adanya dugaan pelanggaran etika aparat kepolisian, termasuk pertanyaan tidak relevan kepada pelapor dan minimnya langkah konkret dalam melindungi anak sebagai korban.
Anak seharusnya segera diamankan setelah laporan diterima. Kegagalan ini menimbulkan tanda tanya besar, ujarnya.
Ia juga mempertanyakan upaya pengalihan fokus kasus dari ranah pidana ke perdata.
Menurutnya, kasus ini jelas merupakan tindak pidana karena melibatkan kekerasan dan pengambilan paksa anak.
Mengapa harus menunggu keputusan perdata? Jika permohonan perdata terlapor dikabulkan, kasus ini berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang (TPPO), jelasnya.
Dugaan Suap dan Hilangnya Kepercayaan Publik
Jupri turut mengungkapkan kekhawatirannya terhadap indikasi suap dalam kasus ini.
Jika indikasi suap benar ada, maka tindakan tegas harus segera diambil. Hal ini sangat merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, tegasnya.
Seruan untuk Penegakan Hukum
Dalam pernyataannya, Jupri menekankan pentingnya peran negara dalam melindungi hak anak dan memberikan keadilan bagi korban.
Ia meminta berbagai pihak, termasuk Kompolnas, Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Kementerian PPA, Komnas HAM, dan Kapolri, untuk mengawasi serta menindak tegas aparat yang diduga melakukan pelanggaran.
Kasus ini tidak boleh menjadi preseden buruk dalam perlindungan perempuan dan anak. Penegak hukum harus tegas, transparan, dan mengutamakan kepentingan korban, pungkasnya. ***