21 Mei 2025 | MEDIAPESAN – Warga Bara-barayya, yang didampingi oleh Aliansi Bara-barayya Bersatu, kembali melayangkan laporan pidana ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan terkait dugaan pemalsuan surat dalam proses persidangan sengketa lahan yang tengah berlangsung.
Laporan tersebut berfokus pada surat kuasa bertanggal 11 Maret 2025 yang digunakan oleh pihak Tergugat dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri Makassar.
Warga menduga surat tersebut mengandung tanda tangan palsu, memperkuat keyakinan mereka bahwa konflik yang mereka hadapi melibatkan jaringan mafia tanah.
Laporan atas dugaan pemalsuan surat ini sudah dilakukan dua kali oleh warga. Fakta-fakta yang terungkap justru semakin memperkuat dugaan bahwa yang sedang mereka hadapi adalah praktik mafia tanah, ujar Muhammad Ansar dari LBH Makassar.
Kecurigaan warga semakin menguat setelah Itje Siti Aisyah, pihak yang disebut sebagai pemohon eksekusi, tidak pernah hadir dalam tiga kali sidang mediasi maupun saat pembacaan gugatan dari pihak penggugat.

Ketidakhadiran ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan klaim dan representasi hukumnya di pengadilan.
Kami, warga Bara-barayya yang menjadi tergugat dalam perkara pokok, kembali melaporkan pihak lawan. Kecurigaan ini harus dibuktikan secara hukum. Karena itu kami mendesak Polda Sulsel untuk mengusut kasus ini secara terang-benderang, tegas Andarias, perwakilan warga.
Laporan kali ini disertai dengan aksi unjuk rasa oleh Aliansi Bara-barayya Bersatu yang mengawal warga saat menyampaikan laporan di Mapolda Sulsel.
Mereka menuntut agar aparat penegak hukum bertindak netral dan profesional dalam menangani kasus ini.
Kami sangat mengharapkan institusi kepolisian bertindak profesional, transparan, dan akuntabel. Pengadilan pun jangan terburu-buru mengeksekusi sebelum seluruh upaya hukum ditempuh warga, tambah Ansar.
Dalam laporan tersebut, warga secara resmi melaporkan dua orang kuasa hukum dari pihak pemohon eksekusi, Itje Siti Aisyah, atas dugaan pelanggaran Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1946.
Ini laporan pidana kedua kami. Ini bukan gertakan. Kami tidak akan tinggal diam melihat tanah kami dirampas oleh pihak yang bahkan tidak pernah berkomunikasi langsung. Jika benar Itje Siti Aisyah adalah pemohon, maka ia harus hadir langsung di persidangan, tegas Andarias.
Kasus ini menjadi sorotan di tengah meningkatnya tekanan terhadap permukiman warga di kawasan perkotaan Makassar, di mana nilai tanah terus meroket dan konflik lahan menjadi semakin kompleks.