MEDIAPESAN, Gowa – Kasus penahanan seorang anak laki-laki berusia 16 tahun oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Gowa, Sulawesi Selatan, memunculkan kekhawatiran publik terkait dugaan pelanggaran prosedur dan hak anak.
DK, remaja tersebut, diamankan pada 1 April 2025.
Namun hingga lebih dari 30 hari sejak penahanan, keluarganya belum menerima dokumen resmi apa pun dari kepolisian—baik Laporan Polisi (LP) maupun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Saya tidak tahu apa sebenarnya masalah anak saya, ujar ibunya, Trisnawati. Penyidik hanya menghubungi lewat WhatsApp, mengatakan anak saya ditahan karena kasus persetubuhan. Tapi tidak ada surat resmi sama sekali.
Ia mengaku telah berusaha menemui anaknya, namun hanya diperbolehkan melihat dari balik kaca.
Di momen itulah ia melihat luka dan lebam di wajah DK.
Cuma bisa lihat dari jauh, saya lihat ada luka dan lebam. Saya makin khawatir, lanjutnya.
Dugaan Pemukulan dan Tuntutan Damai Bernuansa Uang
Dua hari setelah penahanan, Trisnawati mengaku kembali dihubungi penyidik yang menyampaikan bahwa keluarga pelapor meminta uang sebesar Rp25 juta agar kasus dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Saya kaget. Ternyata pelapornya adalah DW, pacarnya sendiri. Penyidik bilang kalau saya setuju bayar, bisa damai. Tapi saya bilang tidak punya uang, ungkapnya.
Trisnawati juga menyatakan bahwa anaknya sempat mengaku telah dipukuli oleh keluarga DW sebelum dibawa ke Polres.
Namun polisi tidak segera memeriksa kondisi fisiknya.
Anak saya mengaku dipukuli sebelum dibawa ke kantor polisi. Harusnya polisi cek dulu kondisi anak saya, kenapa langsung ditahan? tegasnya. Kenapa hanya anak saya yang ditahan, sementara pelaku pemukulan tidak?
Laporan balik atas dugaan pengeroyokan baru dibuat 21 hari setelah penahanan, yakni pada 21 April, dengan Nomor LP/B/416/IV/2025.
Kenapa tidak sejak awal? Luka anak saya sudah hampir sembuh, keluh Trisnawati.
Upaya Mediasi dan Tuntutan Pernikahan atau Denda
Pada hari ke-29 penahanan, pihak Polres Gowa memfasilitasi mediasi restoratif (restorative justice) antara keluarga DK, DW, dan pihak Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Dalam pertemuan itu, keluarga DW mengajukan dua syarat: membayar Rp10 juta atau menikahkan DK dan DW.
Trisnawati mengaku tidak mampu memenuhi permintaan uang tersebut, namun menyatakan kesiapan untuk menikahkan anaknya.
Kalau soal uang, saya cuma sanggup Rp2 juta. Tapi kalau harus menikah, saya siap, ujarnya.
Mediasi berakhir tanpa kesepakatan.
Permintaan Biaya Visum dan Pelanggaran Prosedur
Setelah laporan balik dibuat, penyidik kembali menghubungi Trisnawati untuk meminta biaya visum bagi DK, menyebut bahwa visum belum dilakukan saat laporan dibuat.
Mereka minta saya titipkan uang untuk visum anak saya. Katanya mereka yang urus laporannya, kata Trisnawati sambil menunjukkan tangkapan layar isi pesan dari penyidik.
Penahanan Bisa Langgar UU Perlindungan Anak
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mewajibkan pendekatan restoratif dan menempatkan penahanan sebagai upaya terakhir.
Penahanan anak di bawah umur selama lebih dari sebulan tanpa kejelasan hukum bisa dianggap pelanggaran serius.
Trisnawati berharap hukum ditegakkan secara adil dan anaknya segera dibebaskan.
Anak saya tidak pantas diperlakukan seperti ini. Dia juga korban. Saya hanya ingin keadilan, pungkasnya. ***