MEDIAPESAN, Jakarta – Indonesia tengah menghadapi tantangan besar akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dipicu oleh kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Ancaman ini menjadi semakin nyata di tengah krisis global yang mengganggu stabilitas ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), hampir 40% pekerjaan di dunia berisiko tergantikan oleh AI.
Sementara itu, survei PwC dalam 27th Global CEO Survey 2024 menyebutkan bahwa 87% CEO yang sudah menerapkan AI memperkirakan kebutuhan keterampilan baru akan meningkat.
Namun di Indonesia, hanya 34% perusahaan yang memiliki program pelatihan AI bagi karyawan mereka.
World Economic Forum (WEF) memperkirakan bahwa 375 juta pekerja global perlu menjalani reskilling hingga tahun 2030.
Meski terancam, Indonesia memiliki keunggulan demografis dengan lebih dari 60% penduduk berusia produktif.
Para ahli menilai, peluang ini hanya dapat dimanfaatkan jika pemerintah mempercepat transformasi digital dan mendorong kolaborasi antara industri dan institusi pendidikan.
Pendidikan Tertinggal di Daerah Terpencil
Sementara itu, tantangan lain muncul dari dunia pendidikan.
Kurangnya akses internet di wilayah terpencil menyebabkan rendahnya tingkat literasi dan numerasi siswa.
Asesmen Nasional 2023 yang dirilis Kementerian Pendidikan menunjukkan hanya 34% siswa SMP yang memenuhi standar minimum literasi membaca.
Lebih dari 60% siswa belum mencapai kemampuan dasar dalam berhitung.
Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS), Yohanes Handojo Budhisedjati, menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi ini.
Dalam sebuah pertemuan di Jakarta, ia menyerukan aksi nyata untuk mengatasi dampak ganda dari ketimpangan pendidikan dan gelombang PHK akibat AI.
Program upskilling dan reskilling, serta penyediaan fasilitas dan akses teknologi pendidikan bagi siswa di wilayah pedalaman, harus segera kita persiapkan, ujar Handojo.
FORMAS, lanjutnya, tidak akan menggunakan dana pemerintah untuk menjalankan program ini.
Kami mengajak semua pihak untuk bergerak bersama. FORMAS akan membuktikan bahwa rakyat mampu membantu pemerintah, tambahnya.
Kolaborasi Non-Pemerintah: iBlooming, KIPIN, dan CMC
Dalam langkah konkrit, FORMAS menggandeng beberapa mitra strategis seperti iBlooming Indonesia, penyedia platform pembelajaran iLearning Global.
Pendiri iBlooming, Onggy Hianata, menyebut sekitar 250 juta pekerja global berisiko kehilangan pekerjaan akibat AI, termasuk di Indonesia.
Kelompok berpendidikan rendah akan paling terdampak. Karena itu kami menyediakan pelatihan upskilling dan reskilling dengan biaya sangat terjangkau, bahkan hanya US$1 per bulan melalui kerja sama dengan FORMAS, kata Onggy.
KIPIN, yang telah melayani 3.000 sekolah dan lebih dari sejuta siswa, menawarkan solusi digital pendidikan tanpa bergantung pada koneksi internet.
Kami memiliki perangkat keras dengan konten pembelajaran, perpustakaan digital, dan software asesmen yang bisa digunakan di daerah terpencil, ujar pimpinan KIPIN, Santoso Suratso.
Sementara itu, lembaga pelatihan vokasi CMC yang dipimpin Ardian Elkana juga menyatakan dukungan terhadap program FORMAS.
Kami siap berkolaborasi untuk mendukung pendidikan vokasi dan membantu pemerintah menghadapi tantangan ini, ucapnya.
Krisis dan Kesempatan
Forum FORMAS menyatakan bahwa inisiatif ini merupakan bagian dari gerakan sosial untuk menghadapi tantangan teknologi secara inklusif, dengan pendekatan yang tidak bergantung pada dana negara.
Ini bukan hanya soal teknologi, tapi soal keadilan akses dan kesiapan sumber daya manusia. Kalau tidak diantisipasi, ketimpangan akan makin melebar, kata Handojo.
Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh sejumlah tokoh pendidikan dan teknologi, termasuk Sekjen FORMAS Prof. Hoga Saragih, Ketua Umum SPRI Heintje Mandagi, serta perwakilan dari APTIKNAS dan organisasi INTI.