MEDIAPESAN, Makassar – Sengketa akses jalan di kawasan Perumahan Bukit Baruga Manggarupi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, memasuki babak baru setelah HU (inisial), pemilik sah sebidang tanah di kawasan tersebut, melaporkan tindakan penghalangan akses yang disebutnya tidak beralasan secara hukum.
HU, yang mengklaim telah mengantongi sertifikat tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), serta surat kuasa pengelolaan dari pihak pengembang sejak 2023, menegaskan bahwa akses menuju lahan miliknya kini dipagari dan ditutup oleh sejumlah warga sekitar.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Minggu (8/6/2025) di Makassar, kuasa hukum HU, A. Sofian Rauf Radja, SE, Ak, SH, menyatakan bahwa kliennya menjadi korban dari pelanggaran hak dasar warga negara.
Klien kami memiliki bukti kuat berupa sertifikat resmi. Namun akses jalan menuju lahannya justru dihalangi oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kewenangan hukum. Ini adalah bentuk pengabaian hukum yang serius, ujar Sofian.
Legalitas vs Tekanan Sosial
Menurut penjelasan kuasa hukum, HU telah membeli akses jalan tersebut secara sah dan telah melakukan pembayaran melalui transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Namun, upaya untuk membuka akses yang menjadi bagian dari hak propertinya mendapat penolakan keras dari sebagian warga yang disebut “oknum”.
Ironisnya, upaya mediasi yang telah dilakukan HU selama lebih dari sebulan berujung buntu.
Ia bahkan mengaku telah menawarkan kontribusi terhadap pembangunan jalan sesuai aspirasi lingkungan sebagai bentuk itikad baik, namun respons warga dinilai berubah seiring meningkatnya tekanan sosial di lingkungan setempat.
Saya bukan meminta izin, melainkan menunjukkan etika. Tapi justru mendapat tekanan seolah-olah saya pelaku pelanggaran, jelas HU dalam pernyataannya.
HU juga mengaku telah menyurati pihak kelurahan dan kecamatan sebelum melakukan pembongkaran pagar, namun tanggapan yang diterima justru menunjukkan sikap menghindar dari pihak aparatur pemerintahan lokal.
Kami melihat adanya kekhawatiran dari aparat kelurahan dan kecamatan yang lebih memilih aman ketimbang berpihak pada aturan, tambah Sofian.
Desakan Penegakan Hukum
Lebih jauh, kuasa hukum menyoroti langkah aparat penyidik yang disebut sudah turun ke lokasi meskipun belum ada laporan resmi yang masuk secara formal.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar tindakan hukum yang dijalankan dan pihak mana yang sebenarnya dilindungi.
Jika situasi ini dibiarkan, kami siap membawa perkara ini ke jalur hukum. Kami ingin memastikan bahwa hukum tidak tunduk pada tekanan mayoritas, ujar Sofian dengan tegas.
Pihak HU kini meminta aparat penegak hukum dan pemerintah daerah agar mengambil langkah yang adil, berdasarkan hukum dan tidak bias terhadap tekanan kelompok tertentu.
Konteks yang Lebih Luas
Kasus seperti ini mencerminkan persoalan klasik dalam tata kelola perkotaan di Indonesia: pertarungan antara legalitas formal dan kekuatan sosial di lapangan.
Di sejumlah kasus serupa, pemilik sah lahan kerap dihadapkan pada tantangan akses, tekanan lingkungan, bahkan ancaman, meskipun dokumen legal telah dikantongi.
Fenomena ini juga mengangkat kembali pertanyaan tentang sejauh mana perlindungan hukum bagi warga pemilik sah, serta efektivitas peran aparatur pemerintah lokal dalam menyelesaikan konflik horizontal berbasis lahan.
HU berharap bahwa kasusnya bisa menjadi preseden untuk mempertegas komitmen negara terhadap supremasi hukum di ruang publik.
Ini bukan soal siapa yang lebih lantang, tapi siapa yang benar di mata hukum, pungkas Sofian.