MEDIAPESAN, Makassar – Jumat sore, 20 Juni 2025, Tanty Rudjito melangkah masuk ke Polsek Tamalate, Makassar, seorang diri, membawa harapan kecil yang tersisa dalam pencariannya selama lebih dari satu tahun terhadap keadilan.
Ia adalah korban penganiayaan dan perampasan anak—dua luka yang belum juga sembuh, bukan hanya karena kekerasan itu sendiri, tapi karena lambannya penanganan hukum yang ia alami.
Tanty datang sekitar pukul 17.40 WITA untuk menanyakan kelanjutan kasus yang telah ia laporkan sejak 26 Januari 2024.
Perkaranya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Makassar (status P21), namun tersangka berinisial RK alias “Ferry” belum juga diserahkan ke kejaksaan beserta barang bukti—langkah yang seharusnya telah dilaksanakan dalam proses hukum tahap dua (tahap II).
Saya ini datang baik-baik, hanya ingin menanyakan perkembangan, kata Tanty kepada awak media. Tapi saya diberi tahu bahwa Kapolsek dan Kanit Reskrim tidak ada. Saya harus menunggu lebih dari tiga jam, tanpa satu pun penjelasan resmi.
Kebingungan kian dalam ketika awak media menghubungi langsung Kapolsek Tamalate, Kompol Syarifuddin.
Ia menyatakan bahwa Kanit Reskrim berada di ruangannya.
Namun pada pukul 19.32 WITA, ketika media kembali masuk ke kantor polisi, sang Kanit sudah meninggalkan lokasi dengan mobil dinasnya.
Bagi Tanty, ini bukan hanya bentuk pengabaian, tapi juga penghinaan terhadap martabatnya sebagai korban.
Mengapa saya yang harus kejar-kejar aparat? Saya korban, bukan pelaku. Ini bentuk pelecehan terhadap keadilan. Kalau negara tak bisa menjamin itu, saya akan cari keadilan di luar sistem, ujarnya dengan tegas.
Menjelang pukul 19.50 WITA, setelah media bersiap meninggalkan lokasi, seorang petugas piket menghubungi Kapolsek Tamalate melalui sambungan telepon.
Kapolsek kemudian menyampaikan bahwa pelimpahan tersangka dan barang bukti akan dilakukan pada Senin, 23 Juni 2025.
Kami telah menjadwalkan pelimpahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan pada hari Senin, ujarnya.
Namun bagi publik, janji itu tak serta-merta menghapus keraguan.
Kasus ini telah bergulir terlalu lama, meski status P21 telah dikantongi sejak awal tahun, eksekusi proses hukum tetap tertunda dengan berbagai alasan.
Jangan lagi jadikan janji sebagai tameng, kata Tanty. Setiap kali kasus ini mencuat, selalu ada alasan baru. Saya lelah, stres, dan secara psikis terganggu. Amarah ini sudah tak bisa saya bendung lagi.
Apa yang dialami Tanty hanyalah satu dari sekian banyak contoh krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum di Indonesia.
Di tengah sistem yang tidak transparan dan minim empati, korban kerap dibiarkan berjuang sendiri untuk hak-hak yang seharusnya dijamin oleh negara. ***
(r35)