MEDIAPESAN – Seorang ibu rumah tangga di Makassar menyuarakan tuntutan keadilan setelah menyaksikan langsung dugaan kekerasan seksual terhadap anak tirinya yang masih berusia enam tahun.
Insiden ini diduga dilakukan oleh kerabat dekat korban, namun penanganan kasus oleh aparat kepolisian dinilai lamban.
Peristiwa tersebut terjadi pada Minggu lalu, 15 September 2024, sekitar pukul 17.00 WITA, di sebuah rumah di Jalan Banta-Bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar.
Ibu korban, berinisial H (33), menyatakan dirinya menyaksikan langsung aksi tidak senonoh yang dilakukan oleh pelaku berinisial AL (35), yang merupakan paman korban.
Saya naik ke lantai dua dan lihat langsung pelaku memasukkan tangannya ke kemaluan anak saya yang sedang bermain HP, ujar H dengan suara bergetar dalam konferensi pers di Kantor UPTD PPA Kota Makassar, Rabu (7/5/2025).
Pasca kejadian, korban yang disebut dengan nama samaran “Bunga”, mengalami demam tinggi, keluhan nyeri di bagian kemaluan, dan trauma berat.
Pemeriksaan medis di RS Faisal dan Klinik Azka Nadhifah mengungkapkan adanya infeksi dan tanda-tanda kekerasan seksual.
Dokter menyatakan anak saya mengalami vulvovaginitis, keputihan, dan trauma psikologis, tambah H.
Penanganan Kasus Dinilai Lamban
Laporan polisi telah dilayangkan ke Polrestabes Makassar sejak 20 Februari 2025 dengan nomor STBL/296/II/2025/POLDA SULSEL/RESTABES MKSR, serta tercatat di UPTD DPPA Kota Makassar (Nomor: 2502112097) pada 19 Februari 2025.
Namun, hingga kini belum ada tindakan tegas dari pihak kepolisian.
Saya sudah melapor, tapi polisi masih minta saya cari saksi lain. Padahal saya sendiri saksi langsung. Anak saya trauma berat dan belum bisa bicara dengan lancar, ucap H.
Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Makassar, Makmur, menyayangkan lambatnya respons dari kepolisian.
Seharusnya penyidik segera ajukan permohonan pendampingan psikologis agar anak tidak larut dalam trauma. Ini menyangkut masa depan korban, tegasnya.
Kepolisian Masih Tahap Lidik
Pihak penyidik Polrestabes Makassar menjelaskan melalui pesan tertulis bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.
Saksi yang disebutkan pelapor belum hadir untuk memberikan keterangan. Kami sudah mengundang, tetapi belum ada respons. Perkara masih dalam proses lidik, tulis penyidik dalam keterangannya.
Payung Hukum Sudah Jelas
Sejumlah regulasi di Indonesia sudah memberikan kerangka hukum yang tegas untuk melindungi korban kekerasan seksual, termasuk anak-anak.
Antara lain:
- UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): mengakui keterangan korban sebagai alat bukti sah (Pasal 27), memperluas bukti termasuk visum, rekam medis, dan hasil psikologis (Pasal 25), serta mewajibkan perlindungan dari aparat hukum (Pasal 30).
- UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: menyebut bahwa anak korban berhak atas rehabilitasi medis, sosial, dan psikologis (Pasal 64A).
- UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: memberikan hak atas perlindungan fisik, psikologis, sosial, dan hukum.
- KUHAP Pasal 184: mendefinisikan alat bukti sah, yang dalam UU TPKS ditambahkan dengan bukti digital dan hasil pendampingan psikologis.
Dengan adanya saksi mata langsung, bukti medis, dan kondisi psikologis korban yang terganggu, unsur pembuktian awal dinilai telah terpenuhi oleh sejumlah pemerhati hukum dan pendamping korban.
Seruan Keadilan untuk Anak
Kasus ini kembali menyoroti tantangan serius dalam penanganan perkara kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
Aktivis dan lembaga perlindungan anak menyerukan percepatan penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak korban atas pemulihan dan keadilan.
Kita harus bergerak cepat. Setiap hari yang terlewat tanpa perlindungan akan memperdalam luka psikologis korban, kata Makmur.
Ibu korban berharap aparat segera mengambil tindakan hukum dan anaknya mendapat pemulihan secara menyeluruh.
Saya tidak ingin anak saya tumbuh dalam ketakutan. Saya hanya ingin dia diselamatkan, pungkasnya.