MEDIAPESAN, Jakarta – Sengketa hukum atas sebidang tanah seluas 3.686 meter persegi yang kini menjadi lokasi Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) di Jakarta Timur kembali menyoroti persoalan klasik dalam sistem pertanahan Indonesia: mafia tanah yang beroperasi dengan perlindungan birokrasi.
Lembaga Bantuan Hukum Digitek (LBH Digitek) DKI Jakarta resmi mendampingi Syatiri Nasri, ahli waris sah almarhum Mutjitaba Bin Mahadi, yang mengklaim kepemilikan lahan tersebut berdasarkan dokumen resmi yang tercatat sejak lama di Kelurahan Cawang.
Direktur LBH Digitek, Jurika Fratiwi, SH., SE., MM — yang juga dikenal sebagai advokat senior di KADIN Indonesia — menyebut kasus ini bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari “pola sistematis perampasan hak atas tanah milik rakyat kecil.”
Apa yang kami lihat di lapangan sangat memprihatinkan. Mafia tanah masih bebas beroperasi karena punya uang, dokumen palsu, dan jaringan kuat dalam birokrasi. Mereka bahkan memanfaatkan oknum sebagai perpanjangan tangan, kata Jurika.
Jurika Fratiwi, yang dikenal luas membela masyarakat akar rumput dalam kasus agraria, mengatakan bahwa sistem pertanahan di Indonesia memberi celah luas bagi manipulasi dan penghilangan hak milik.
Dalam sidang yang digelar pada 15 Oktober 2024 lalu, Kelurahan Cawang (selaku Tergugat III) melalui kuasa hukumnya mengakui keberadaan dan keabsahan dokumen Letter C No. 615 dan 472 atas nama Mutjitaba Bin Mahadi.
Sementara itu, penggugat tandingan, Nurjaya, tidak mampu menunjukkan bukti yang sah terkait klaimnya atas Letter C No. 1580 atas nama Amsar Bin Tego.
Syatiri Nasri juga tercatat sebagai wajib pajak aktif atas tanah tersebut berdasarkan Nomor Objek Pajak (NOP) 31.72.020.007.011-0014.0 — yang saat ini digunakan oleh RS PON untuk pembayaran pajaknya.
Ironisnya, rumah sakit negara beroperasi di atas lahan yang diduga kuat dirampas dari warga yang memiliki dokumen sah. Negara justru diam, ujar Fratiwi.
LBH Digitek menyerukan tindakan cepat dan menyeluruh dari pemerintah.
Mereka merumuskan empat langkah strategis untuk memerangi mafia tanah:
1. Pembentukan Badan Nasional Pengawas Anti Mafia Tanah (BN-PAMT)
2. Audit menyeluruh terhadap Kantor BPN di seluruh daerah
3. Integrasi sistem digital pertanahan secara nasional
4. Peluncuran sistem pelaporan publik berbasis digital
Jurika menegaskan bahwa pendampingan hukum semata tidak cukup.
Diperlukan reformasi struktural yang menyasar akar persoalan: ketidaktransparanan, tumpang tindih dokumen, dan lemahnya pengawasan institusi.
Ini bukan sekadar profesi bagi kami. Ini panggilan moral untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang dilupakan oleh sistem.
LBH Digitek juga mendorong pendekatan kolaboratif yang melibatkan lima elemen kunci (pentahelix): pemerintah, masyarakat, akademisi, media, dan sektor hukum — guna menekan dominasi mafia tanah yang selama ini tak tersentuh.
Kami menyaksikan langsung bagaimana warga kecil digusur, ditipu, dipalsukan tandatangannya, dan dilawan oleh kekuatan uang. Negara tidak boleh terus memihak yang kuat. Hukum harus berpihak pada yang benar, tegas Jurika.