MEDIAPESAN – Sebuah polemik mencuat di Sulawesi Selatan setelah muncul dugaan bahwa sejumlah siswa SMAN 1 Makassar dipaksa menandatangani surat permohonan pindah sekolah, memicu kekhawatiran terhadap hak siswa dan tata kelola internal sekolah.
Pemerhati pendidikan Sulawesi Selatan, Muslimin Yunus, mengecam tindakan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan yang diduga menekan orang tua siswa agar menyetujui pemindahan anak mereka, meskipun para siswa tersebut masih menjalani proses perbaikan akademik.
Tindakan ini sangat mencederai semangat pendidikan, ujar Muslimin dalam pernyataannya kepada media, 3 April.
Anak-anak itu bukan barang yang bisa digeser begitu saja.
Muslimin menjelaskan, kasus ini bermula dari lima siswa yang menerima surat permohonan pindah, dua di antaranya langsung pindah sekolah dalam waktu dua hari.
Ia menilai hal ini sebagai indikasi kuat adanya tekanan psikologis.
Dugaan kian menguat ketika pada 2 Mei, sebanyak 40 siswa diundang ke pertemuan yang dinilai sebagai bagian dari pola yang lebih luas dan sistematis.
Ia juga mengkritik Kepala SMAN 1 Makassar yang mengaku tidak mengetahui adanya surat tersebut.
Jika benar tidak tahu, ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal sekolah dan buruknya tata kelola, tambahnya.
Muslimin mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan untuk segera mengambil langkah tegas terhadap Kepala Sekolah maupun Wakil Kepala Sekolah yang dianggap melanggar hak dasar siswa dan mencederai fungsi sekolah sebagai ruang aman dan mendidik.
Dugaan Pelanggaran yang Disorot:
1. Melanggar prinsip non-diskriminasi dalam pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Permendikbud No. 80 Tahun 2013 tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
2. Menimbulkan tekanan psikologis terhadap siswa dan orang tua, yang mengaku mengalami stres akibat ancaman surat pindah.
3. Melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya terkait kekerasan psikis dan penelantaran anak dalam pendidikan.
4. Bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang juga mencakup perlindungan anak di lingkungan pendidikan.
5. Menunjukkan indikasi penyalahgunaan wewenang karena surat tidak diketahui oleh kepala sekolah dan tidak memiliki dasar administratif yang sah.
6. Berpotensi terjadi manipulasi data peserta didik menjelang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025/2026, yang bisa membuka celah kecurangan sistem kuota penerimaan.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembinaan, bukan penyingkiran, tegas Muslimin.
Jika ada siswa yang lemah dalam akademik, seharusnya dibina, bukan ditekan untuk keluar.
Kasus ini menarik perhatian publik, terlebih terjadi di momen peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025—sebuah momentum yang semestinya menjadi refleksi atas hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, inklusif, dan tanpa diskriminasi.