Oleh : Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)
Sebuah keputusan atau peraturan menjadi tidak bijaksana jika peraturan tersebut justru merusak dan menghancurkan keseluruhan sistem maupun sub-sistem.
Maka, setiap kali menerbitkan keputusan baru, hendaknya rancangan keputusan itu selalu berpijak pada kalkulasi yang matang dengan pertimbangan dan kajian yang komprehensif.
Di tengah ketidakpastian global yang berkelanjutan seperti sekarang, keputusan yang akan merusak mesin pertumbuhan ekonomi mestinya haram.
Dapat dikatakan bahwa pasca pandemi Covid-19 yang berdurasi lebih dari dua tahun itu, kekuatan konsumsi dalam negeri, utamanya konsumsi rumah tangga, menjadi pondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Fakta ini tak terbantahkan. Sebagai faktor dengan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, peran signifikan konsumsi rumah tangga itu bahkan terus berlanjut hingga kuartal pertama 2024.
Masyarakat pun diberi gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi nasional awal tahun ini tumbuh dengan kuat, saat pertumbuhan sejumlah negara memperlihatkan kecenderungan melemah.
Karena berdampak langsung pada kebaikan bersama, siapa pun pasti menghendaki agar perekonomian nasional terus bertumbuh.
Konsekuensinya, pondasi atau faktor-faktor pendorong pertumbuhan ekonomi harus dikelola dengan penuh kebijaksanaan.
Bersama faktor pertumbuhan investasi dan ekspor, kekuatan konsumsi dalam negeri, utamanya konsumsi rumah tangga, pun harus terus diperkuat dari waktu ke waktu.
Bukankah kekuatan konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat itu secara tak langsung memberi gambaran tentang kesejahteraan masyarakat.
Apa jadinya jika dampak langsung sebuah keputusan atau peraturan justru mereduksi, memperlemah bahkan merusak kekuatan konsumsi rumah tangga? Sudah pasti bahwa keputusan atau peraturan itu tidak bijaksana karena berpotensi merusak kebaikan bersama.
Dan, buah dari keputusan yang tidak bijaksana itu tentu sangat mudah untuk dianalisa dan dibuatkan kesimpulan; bahwa pertumbuhan ekonomi di waktu-waktu mendatang akan melemah, bahkan bisa saja tumbuh negatif sebagai akibat dari melemahnya kekuatan konsumsi rumah tangga.
Gambaran tentang pertumbuhan ekonomi nasional terkini bisa dipahami dari laporan resmi Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan pertama Mei 2024.
Dua institusi negara itu melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia per triwulan I-2024 tetap tinggi, yakni mencapai 5,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Dan, pertumbuhan tinggi sepanjang periode triwulan pertama-2024 itu disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga yang masih kuat.
Belanja pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 pun ikut memperkuat konsumsi rumah tangga, antara lain dari pemberian honorarium petugas Pemilu.
Berpijak pada laporan resmi Kementerian Keuangan dan BPS itu, semua pihak diingatkan untuk merawat kekuatan daya beli masyarakat agar kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
Ini menjadi strategi kebijakan paling masuk akal di tengah ketidakpastian yang terus membayangi perekonomian global.
Boleh jadi, karena alasan merawat kekuatan konsumsi rumah tangga itulah pemerintah tidak otomatis menaikkan harga jual eceran atas bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, kendati harga minyak mentah di pasar dunia telah naik akibat konflik bersenjata di beberapa kawasan.
Hari-hari ini, terlihat adanya kontradiksi kebijakan; di satu sisi ada kebijakan tidak menaikkan harga BBM bersubsidi demi merawat daya beli masyarakat, tetapi di sisi lain dimunculkan kebijakan yang mewajibkan setiap pekerja atau rumah tangga menyisihkan pendapatannya untuk sesuatu yang tidak atau belum menjadi prioritas masing-masing orang atau keluarga.
Sudah pasti bahwa setiap kali pendapatan keluarga disisihkan, daya beli keluarga itu akan melemah.
Diyakini bahwa masyarakat kebanyakan lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan demi kebaikan bersama.
Maka, agar konsumsi rumah tangga sebagai pondasi pertumbuhan ekonomi tidak melemah, regulator negara jangan dulu memaksakan berlakunya kebijakan atau peraturan yang mewajibkan setiap orang dan rumah tangga menyisihkan pendapatan atau gaji untuk sesuatu yang tidak menjadi prioritas bagi masing-masing keluarga.
Biarkan setiap orang atau keluarga Indonesia menetapkan prioritas kehidupan mereka. Memaksakan setiap orang atau keluarga menyisihkan penghasilan adalah bentuk intervensi yang terlalu jauh.
Patut dicamkan bahwa dinamika perekonomian nasional tidak semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor di dalam negeri, melainkan juga oleh faktor lain dari luar.
Faktor luar yang cukup signifikan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia hari-hari ini adalah fakta naiknya harga minyak mentah, serta menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Dua faktor ini menyebabkan terjadinya gelembung belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan, utamanya untuk impor minyak serta pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri.
Sepanjang pekan pertama Juni 2024 ini, harga minyak mentah di pasar global masih mencatat kenaikan. Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah pun masih di kisaran Rp 16.250-an.
Dampak dari kedua faktor luar itu bisa membuat catatan pertumbuhan sekarang ini menjadi tidak kokoh atau rapuh.
Misalnya, ketika tiba waktunya APBN tidak bisa lagi menolerir gelembung subsidi BBM akibat mahalnya harga minyak mentah sekarang ini, pilihan yang tersedia hanya satu, mengurangi anggaran subsidi.
Ketika subsidi BBM harus dikurangi, yang terjadi kemudian adalah naiknya harga eceran BBM.
Dampak langsung dari naiknya harga BBM bersubsidi dirasakan langsung oleh masyarakat kebanyakan.
Misalnya, sudah barang tentu pengeluaran atau belanja untuk transportasi menjadi lebih mahal. Cepat atau lambat, daya beli setiap orang untuk keperluan lainnya akan melemah.
Memang, dampak kenaikan harga energi selalu melebar. Sebab, biaya produksi menjadi lebih mahal. Konsekuensinya, harga produk dan jasa pun ikut naik.
Kalau kenaikan harga barang dan jasa tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan atau gaji komunitas pekerja, daya beli akan melemah. Melemahnya daya beli atau konsumsi masyarakat menghadirkan ancaman nyata bagi prospek pertumbuhan ekonomi nasional.
Kalau semua pihak sepakat untuk memprioritaskan potensi pertumbuhan ekonomi nasional, pilihannya adalah terus merawat dan memperkuat konsumsi rumah tangga. Maka, jangan paksakan rumah tangga Indonesia menyisihkan pendapatannya untuk sesuatu yang belum jelas. ***