Enrekang (mediapesan) – Buku biografi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Enrekang, Padeli, SH, M.Hum, yang mengisahkan perjalanan kariernya dalam menegakkan hukum di Kabupaten Enrekang, tengah menjadi sorotan.
Buku berjudul “Padeli: Membangun Enrekang dari Sisi Penegakan Hukum dan Satu Tahun Pencapaian Kinerja Kajari Enrekang”, yang ditulis oleh Sunarti Lewang, akan resmi diluncurkan pada 18 Februari 2025.
Acara ini akan dihadiri langsung oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Agus Salim, SH, MH.
Buku ini telah dicetak sebanyak 2.000 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per buku.
Kajari Enrekang menyatakan bahwa biografi ini bertujuan menginspirasi masyarakat dengan perjalanan karier dan capaian kinerjanya.
Buku Laris, Pesanan Capai Ribuan Eksemplar
Padeli mengungkapkan bahwa buku ini mendapat respons luar biasa dari berbagai kalangan, terutama kepala desa dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Bahkan, setiap desa dan OPD disebut-sebut memesan hingga 10 buku per unit.
Selain itu, Bupati Enrekang terpilih, H. Yusuf Ritangnga, dikabarkan telah memesan tambahan 1.000 eksemplar.
Buku saya ini menceritakan bagaimana saya mengawal dan membawa perubahan signifikan di Kabupaten Enrekang dari sisi penegakan hukum. Buku ini banyak diminati kepala desa dan OPD, makanya mereka memesan hingga 10 buku per desa atau OPD. Saat ini, kami sedang mencetak tambahan 1.000 eksemplar untuk memenuhi pesanan, ujar Padeli saat ditemui awak media di ruang kerjanya.
Dituding Tak Bermanfaat, Aktivis Ancam Demo
Namun, penjualan buku ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Beberapa pihak mempertanyakan asas manfaat buku tersebut bagi desa-desa di Enrekang.
Aktivis Pemuda Enrekang, Ciwang, bahkan mengkritik program ini dan menduga adanya paksaan bagi kepala desa untuk membeli buku tersebut.
Saya sangat tidak sepakat dengan program kejaksaan yang menganjurkan semua kepala desa membeli 10 buku dengan harga bervariasi, Rp 150.000 untuk desa yang dijabat PJ/PLT, dan Rp 200.000 untuk desa dengan kepala desa definitif. Artinya, setiap desa harus mengeluarkan Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000 untuk 10 buku, ujar Ciwang, Jumat lalu (7/2/2025).
Ia menegaskan bahwa posisi kejaksaan sebagai lembaga hukum membuat kepala desa enggan menolak permintaan tersebut.
Selain itu, ia mempertanyakan penggunaan hasil penjualan buku dan menilai kejaksaan seharusnya membagikan buku ini secara cuma-cuma jika memang bertujuan untuk edukasi.
Saya anggap ini tidak etis. Sebagai penegak hukum, kejaksaan seharusnya memberikan buku ini gratis kepada desa, bukan malah memperjualbelikannya. Saya berencana menggelar aksi demonstrasi pekan ini untuk mempertanyakan program tersebut, tegasnya.
Menunggu Klarifikasi dari Kejaksaan
Polemik ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat.
Apakah pembelian buku ini benar-benar sukarela, atau ada unsur paksaan?
Bagaimana transparansi penggunaan dana hasil penjualan?
Hingga saat ini, pihak Kejaksaan Negeri Enrekang belum memberikan klarifikasi lebih lanjut terkait tudingan tersebut.
Peluncuran buku ini tentu menjadi momen bersejarah bagi Kajari Enrekang, namun polemik yang menyertainya juga tidak bisa diabaikan.
Akankah kejaksaan memberikan jawaban yang memuaskan, atau justru polemik ini semakin memanas?
Kita tunggu perkembangan selanjutnya!