Oleh: Heintje G. Mandagie, Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI)
Jakarta – Dalam sepak bola, “hattrick” adalah pencapaian istimewa ketika seorang pemain mencetak tiga gol dalam satu pertandingan.
Nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan Kylian Mbappé sering melakukan ini untuk membawa kemenangan bagi tim mereka.
Namun, bagaimana jika konsep ini diterapkan dalam dunia pers, khususnya pada kepemimpinan Dewan Pers?
Selama tiga periode berturut-turut, posisi Ketua Dewan Pers diisi oleh mantan pejabat yang tidak berasal dari dunia jurnalistik.
Dari mantan Ketua Mahkamah Agung, eks Menteri Pendidikan, hingga mantan Komisioner Ombudsman RI, semuanya menduduki posisi ini tanpa pengalaman nyata sebagai wartawan.
Kini, muncul kekhawatiran akan “quattrick,” yakni empat periode berturut-turut Dewan Pers dipimpin oleh sosok yang bukan berasal dari kalangan pers sejati.
Kepemimpinan yang Tidak Mewakili Wartawan
Idealnya, Dewan Pers dipimpin oleh wartawan profesional yang telah lama berkecimpung di dunia jurnalistik.
Namun, faktanya, para pensiunan pejabat ini lebih berperan sebagai regulator daripada fasilitator bagi pers nasional.
Mereka sering kali menentukan kebijakan tanpa benar-benar memahami realitas yang dihadapi para wartawan dan media di Indonesia.
Dalam daftar calon Ketua Dewan Pers periode 2025-2028, muncul enam nama: Rosarita Niken Widiastuti, Albertus Wahyurudhantho, Dahlan Iskan, Komarudin Hidayat, M. Busyro Muqoddas, dan Ratna Komala.
Dari keenamnya, hanya tiga yang memiliki latar belakang di dunia pers: Rosarita Niken Widiastuti, Dahlan Iskan, dan Ratna Komala.
Meskipun mereka punya pengalaman di dunia jurnalistik, mekanisme pemilihannya tetap dipertanyakan.
Dewan Pers Kehilangan Legitimasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga pembentuk peraturan, melainkan hanya fasilitator.
Artinya, Dewan Pers tidak boleh bertindak sebagai regulator yang memutuskan kebijakan sepihak.
Namun hingga kini, Dewan Pers tetap mempertahankan aturan konstituen yang telah kehilangan dasar hukumnya.
Lebih jauh lagi, Dewan Pers juga tidak mengakui badan hukum organisasi pers yang telah disahkan oleh Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM RI.
Padahal, keputusan MK bersifat final dan mengikat, akibatnya organisasi konstituen Dewan Pers saat ini dapat dikategorikan sebagai ilegal karena tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Mekanisme Pemilihan yang Menyalahi UU Pers
UU Pers Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa anggota Dewan Pers harus dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Namun, proses pemilihan saat ini tidak melibatkan seluruh organisasi pers yang berbadan hukum.
Hanya kelompok tertentu yang berhak menentukan siapa yang akan menduduki posisi penting di Dewan Pers.
Hal ini berpotensi melanggar konstitusi dan mencederai independensi pers.
Presiden Republik Indonesia hanya memiliki kewenangan administratif dalam menerbitkan Keputusan Presiden terkait anggota Dewan Pers.
Oleh karena itu, jika pemilihan dilakukan tanpa melibatkan seluruh organisasi pers yang sah, maka keputusan tersebut dapat dianggap cacat hukum.

Dewan Pers dan “Pelacuran Pers”
Salah satu tantangan terbesar bagi pers nasional adalah ketimpangan dalam distribusi anggaran iklan.
Media lokal dan nasional dipaksa bergantung pada kerja sama publikasi dengan pemerintah, sementara belanja iklan komersial lebih banyak dinikmati oleh media konglomerasi.
Praktik ini mengancam independensi pers karena media yang terlalu bergantung pada dana pemerintah cenderung kehilangan fungsi kontrol sosialnya.
Dewan Pers seharusnya mendorong kebijakan yang lebih adil dalam distribusi belanja iklan, bukan malah memperkuat monopoli media besar dan mengabaikan ribuan media lokal yang berjuang untuk bertahan hidup.
Dewan Pers yang ideal adalah lembaga yang benar-benar mewakili dan memperjuangkan kepentingan insan pers, bukan tempat bagi mantan pejabat yang mencari panggung baru setelah pensiun.
Mekanisme pemilihan yang tidak transparan dan bertentangan dengan UU Pers harus segera diperbaiki agar Dewan Pers kembali memiliki legitimasi yang kuat.
Pers Indonesia tidak boleh hanya menjadi alat elite tertentu.
Wartawan dan media di seluruh negeri harus diperlakukan secara setara, tanpa diskriminasi dan marjinalisasi.
Saatnya dunia pers bersatu untuk menegakkan kebebasan dan independensi yang sejati, demi masa depan jurnalistik yang lebih sehat dan profesional di Indonesia. ***