MEDIAPESAN, Jakarta – Seorang jurnalis di Provinsi Papua Barat Daya mengungkap pengalaman dugaan pelecehan seksual yang dialaminya oleh seorang pejabat pemerintah daerah.
Jurnalis tersebut, yang diidentifikasi dengan inisial LY, mengaku menerima ajakan-ajakan tidak pantas dari SK, Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan di Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
Dalam kesaksiannya, LY menyebut SK beberapa kali mengundangnya ke hotel dengan dalih pertemuan profesional — ajakan yang ia tolak mentah-mentah.
Kasus ini menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Polres Kota Sorong, dan mencuat di tengah temuan riset terbaru yang mengungkap 86% jurnalis perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual saat menjalankan tugas (vice.com), kebanyakan dari narasumber pria.
Para aktivis menyebut masalah ini kerap tidak dilaporkan karena adanya ketimpangan kuasa, stigma sosial, dan minimnya perlindungan institusional.
Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), mengecam keras dugaan perilaku tak pantas tersebut.
Ini memalukan. Seorang pejabat publik digaji rakyat, seharusnya menjadi teladan, bukan pelaku pelecehan, ujar Wilson dalam pernyataan resminya, Jumat (30/5).
Ia mendesak agar SK mundur dari jabatannya dan meminta Gubernur Papua Barat Daya segera mengevaluasi seluruh pejabat dengan integritas moral yang meragukan.
Aparatur Sipil Negara itu diseleksi bukan hanya dari kompetensi, tetapi juga dari moralitas. Jika terbukti, pejabat semacam ini harus dicopot, tegasnya.
Insiden ini memunculkan pertanyaan yang lebih luas mengenai perlindungan bagi jurnalis perempuan di lapangan.
Banyak pengamat menyebut bahwa relasi kuasa yang timpang antara jurnalis dan narasumber — di mana wartawan sering harus bersikap lunak demi memperoleh akses informasi — membuka celah penyalahgunaan.

LY, seorang muslimah berhijab, menyatakan merasa “terhina dan dilecehkan” atas perlakuan SK.
Kepada Wilson, ia menceritakan pengalaman tersebut dengan rasa takut namun juga tekad untuk bersuara.
Kasus ini bukan yang pertama, dan bukan satu-satunya. Tapi yang seperti LY, yang berani melapor, masih sangat sedikit, ujar Wilson.
Hingga kini, pihak kepolisian di Sorong belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan tersebut.
Namun Wilson menuntut proses hukum yang serius.
Ini bukan cuma tentang satu pelaku. Ini tentang keselamatan dan martabat semua jurnalis perempuan yang bekerja di lapangan, katanya.
Peristiwa ini kembali menegaskan perlunya sistem pelaporan yang jelas, sanksi tegas bagi pelaku, serta pelatihan etika gender bagi pejabat publik.
Tanpa itu semua, mereka khawatir “budaya diam” akan terus bertahan — dan perempuan di ruang-ruang kerja publik akan tetap terpapar risiko.