Kelompok mahasiswa dan aktivis hak atas tanah memperingatkan potensi konflik akibat penggusuran penambang rakyat yang bergantung pada tambang emas ilegal di Pulau Buru.
MEDIAPESAN, Namlea, Maluku – Kebijakan Gubernur Maluku untuk menertibkan aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Gunung Botak memicu gelombang kritik dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil, yang menilai langkah tersebut berpotensi memperuncing konflik sosial dan memperdalam ketimpangan ekonomi di Pulau Buru, (22/6/2025).
Surat tertanggal 19 Juni 2025 yang ditandatangani Gubernur Maluku, Murad Ismail, meminta Kepolisian Daerah Maluku untuk melakukan penertiban dan pengosongan aktivitas tambang ilegal di kawasan Gunung Botak—wilayah yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi alternatif bagi ribuan warga.
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea, Abdulah Fatsey, menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk “pengabaian struktural” terhadap kondisi riil masyarakat.
Ini bukan hanya soal hukum, ini soal hak hidup ribuan warga yang selama ini ditinggalkan oleh negara, ujarnya.
Menurutnya, Gunung Botak telah menjadi sumber penghidupan utama bagi warga yang tak memiliki akses ke pekerjaan layak, infrastruktur, dan layanan dasar.
Menertibkan tanpa solusi jangka panjang, kata Abdulah, sama saja dengan “mengkriminalisasi kemiskinan”.
Ia juga menyoroti dasar hukum surat tersebut—yakni Perpres No. 55/2022 dan dua keputusan Menteri ESDM—yang dinilai terlalu teknokratis dan mengabaikan aspek sosiologis, seperti hak ulayat dan konflik agraria yang masih belum terselesaikan di kawasan tersebut.
Status tanah di Gunung Botak masih tarik-menarik antara negara, masyarakat adat, dan pemilik hak ulayat. Tapi itu tidak disentuh sama sekali dalam surat tersebut, ungkapnya.
Lebih jauh, Abdulah mempertanyakan transparansi aktor ekonomi di balik operasi penertiban ini.
Apakah ini murni demi penegakan hukum, atau justru membuka jalan bagi korporasi besar untuk masuk dan mengambil alih konsesi tambang secara legal? tanyanya.
Tanpa partisipasi publik dan perlindungan terhadap penambang lokal, ini bisa jadi penggusuran legal yang dibungkus dengan narasi penataan.
Ia juga mengkritik posisi koperasi yang selama ini digadang-gadang sebagai representasi ekonomi rakyat.
Kalau ternyata koperasi dikendalikan elit politik dan tidak merepresentasikan penambang lokal, maka ini hanya akan melanggengkan ketimpangan, tambahnya.
Meskipun UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan legalitas usaha tambang, Abdulah mengingatkan bahwa konstitusi menjamin hak atas penghidupan yang layak (Pasal 27 dan 33 UUD 1945) yang tak bisa diabaikan demi kepentingan birokrasi atau investasi.
Penertiban tidak boleh hanya dilihat sebagai urusan administratif. Tanpa menyelesaikan persoalan struktural seperti hak tanah, perlindungan rakyat, dan partisipasi publik yang sejati, maka kebijakan ini hanya akan memperdalam luka sosial, tegasnya.
Seruan kini mengemuka agar pemerintah daerah Maluku menghentikan sementara proses penertiban dan membuka ruang dialog dengan masyarakat, pemangku adat, serta organisasi masyarakat sipil.
Usulan legalisasi tambang rakyat, pemetaan partisipatif, dan transformasi ekonomi lokal berbasis keadilan mulai mengemuka sebagai alternatif.
Warga Buru tidak butuh digusur. Mereka butuh diakui, didengar, dan dilindungi, pungkas Abdula. Hanya dengan itu, kita bisa bicara soal ketertiban yang bermartabat.