Jurnalisme Aman dan Studi Ungkap Sebab Tren Penyensoran Berita

Reporter Burung Hantu
Ilustrasi: Studi ungkap sebab tren penyensoran berita. (tifa-populix/ho/mediapesancom)

MEDIAPESAN – Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang diluncurkan Yayasan Tifa bersama Populix mengungkap tingginya praktik penyensoran berita di Indonesia, baik karena tekanan eksternal maupun melalui swasensor oleh jurnalis sendiri, Kamis (24/4/2025).

Temuan ini mencerminkan meningkatnya naluri pertahanan media terhadap risiko represi dan kontroversi.

Dalam laporan tersebut, 39% dari 760 jurnalis aktif yang disurvei menyatakan pernah mengalami penyensoran berita.

- Iklan Google -
Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja
(tifa-populix/ho/mediapesancom)
(tifa-populix/ho/mediapesancom)

Sumber tekanan berasal dari berbagai pihak, mulai dari redaksi dan pemilik media, hingga organisasi masyarakat, sponsor, aparat, dan pemerintah.

Karena terjadi di balik meja redaksi, praktik ini acap kali tidak terlihat publik, namun berdampak besar pada kualitas informasi, kata Natalia Soebagjo, anggota Dewan Pengawas Yayasan Tifa, dalam peluncuran laporan di Jakarta.

Ia menambahkan bahwa media massa seharusnya menjadi pilar demokrasi yang menyampaikan informasi secara akurat dan tanpa bias.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Dari segi wilayah, jurnalis di Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Maluku-Malut, dan Papua paling banyak mengalami sensor dari internal redaksi.

Di Kalimantan dan Sulawesi, sensor lebih dominan datang dari organisasi kemasyarakatan.

Laporan juga mencatat bahwa 56% jurnalis mengaku melakukan swasensor, dengan 18% di antaranya hampir selalu melakukannya saat meliput isu sensitif.

- Iklan Google -
(tifa-populix/ho/mediapesancom)
(tifa-populix/ho/mediapesancom)

Alasan utama meliputi keinginan menghindari konflik (57%), perlindungan terhadap narasumber (48%), dan kekhawatiran atas keselamatan pribadi (37%).

Namun, sembilan dari sepuluh jurnalis yang melakukan swasensor mengaku sadar bahwa tindakan ini berdampak negatif terhadap kebebasan pers, kata Nazmi Haddyat, Manajer Riset Sosial Populix.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana, menyatakan bahwa kekerasan terhadap jurnalis kini lebih banyak berbentuk intimidasi nonfisik dan tekanan ekonomi.

Baca Juga:  Wakomindo mengawal Pers sebagai pilar ke empat demokrasi

Ada ancaman pembatasan kerja sama dengan pemerintah atau swasta jika media mempublikasikan berita yang dianggap sensitif, ujarnya.

Bayu menekankan pentingnya perlindungan jurnalis demi menjaga kebebasan pers.

Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 merupakan hasil kerja sama Yayasan Tifa dan Populix dalam program Jurnalisme Aman, bersama PPMN dan HRWG, dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda.

Indeks ini mengukur tingkat perlindungan jurnalis di Indonesia melalui tiga pilar: Individu Jurnalis, Pemangku Kepentingan Media, serta Peran Negara dan Regulasi.

(kevin purnama)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *