MEDIAPESAN, Makassar – Seorang remaja perempuan di Makassar mengungkapkan dugaan perlakuan tidak manusiawi yang dialaminya di rumah sendiri, (7/6/2025).
Ia mengaku menjadi korban kerja paksa dan pengabaian selama bertahun-tahun oleh kedua orang tuanya, yang dikenal sebagai pemilik usaha properti di kota tersebut.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik dan mendorong pelibatan lembaga perlindungan anak serta aparat penegak hukum.
“Seperti Pembantu di Rumah Sendiri”
SFNA, 17 tahun, kini berada di bawah perlindungan pamannya setelah kabur dari Singapura ke Makassar.
Dalam keterangannya kepada media, ia mengaku tidak pernah merasakan masa kecil yang layak.
Saya seperti pembantu di rumah sendiri. Setiap hari kerja. Tidak sekolah, apalagi bermain, ujar SFNA dari rumah pamannya, tempat ia kini berlindung.
Ia menyebut kerap dipaksa mencuci, menyapu, mengurus keperluan rumah tangga, hingga membantu membuat dokumen bisnis milik sang ayah.
Orang Tua Laporkan “Penculikan”, Anak Tegaskan: Saya Datang Sendiri
Alih-alih memberi perlindungan, kedua orang tua SFNA, yang berinisial N dan EK, justru melaporkan dugaan penculikan kepada polisi, menuding paman dan tante SFNA sebagai pelakunya.
Namun, pengakuan sang anak justru membantah tudingan itu.
Tidak ada yang menculik saya. Saya datang sendiri. Saya ingin selamat, tegas SFNA.
Langkah hukum orang tua tersebut dinilai kontradiktif dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap pihak yang kini melindungi korban.
Landasan Hukum dan Dugaan Pelanggaran yang Diusut
Sejumlah pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak berpotensi menjadi dasar tuntutan terhadap tindakan yang dialami SFNA, di antaranya:
1. Eksploitasi Ekonomi Anak
Pasal 76I UU No. 35 Tahun 2014: Melarang eksploitasi ekonomi terhadap anak.
Pasal 88: Ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp200 juta.
2. Pengabaian Hak Tumbuh Kembang dan Pendidikan
Pasal 76A: Melarang penelantaran anak yang menghambat perkembangan.
Pasal 77: Ancaman pidana hingga 5 tahun dan/atau denda Rp100 juta.
3. Hak atas Perlindungan Khusus
Pasal 59, 13, dan 54: Menjamin perlindungan anak dari kekerasan, penganiayaan, dan penelantaran dalam rumah tangga.
Langkah Hukum Dimulai, LPA dan Polisi Akan Terlibat
Pihak keluarga yang kini melindungi SFNA telah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar dan tengah menyiapkan laporan resmi ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Sulsel.
Tiga poin yang menjadi fokus laporan adalah:
- Dugaan eksploitasi ekonomi,
- Penganiayaan psikologis,
- Pengabaian hak pendidikan.
Karena anak ini sudah aman di Makassar, kita akan lanjutkan dengan pelaporan resmi ke Polda, ujar salah satu pendamping hukum.
Desakan Nasional: KPAI, Komnas HAM, hingga DPR Diminta Turun Tangan
Ketua LMR-RI Komwil Sulsel, Andi Idham Jaya Gaffar, S.H., M.H., mendorong pelibatan lembaga-lembaga negara dalam kasus ini.
Ia menyatakan keprihatinan terhadap potensi intervensi pihak berkuasa.
Kami minta Presiden memastikan proses hukum berjalan objektif dan tanpa tekanan. Terlebih jika benar ada jaringan kuat dari pelaku di institusi hukum, tegasnya.
LMR-RI juga meminta media nasional untuk mengawal kasus ini demi mencegah kriminalisasi terhadap pihak pelindung dan memastikan korban mendapat keadilan.
Lebih dari Sekadar Konflik Keluarga
Kasus ini dinilai lebih dari sekadar konflik internal rumah tangga.
Ia mencerminkan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi anak dan kegagalan negara melindungi mereka di ruang privat sekalipun.
Anak ini tak hanya perlu perlindungan fisik, tapi juga pemulihan batin. Negara harus hadir nyata, bukan sekadar tertulis dalam undang-undang, pungkas Idham.
Kini, perhatian publik tertuju pada respons aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan anak.
Apakah sistem hukum Indonesia mampu berpihak pada korban, bahkan ketika yang dituduh adalah orang tua sendiri?